Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Qur’an dan mengutus Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai penjelas dan pembimbing untuk memahami Al Qur’an tersebut sehingga menjadi petunjuk bagi umat manusia. Semoga Allah subhanahu wata’ala mencurahkan hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga dapat membuka mata hati kita untuk senantiasa menerima kebenaran hakiki.
Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan disertai do’a-do’a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”.
Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.
Tidak lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali acara diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif, tergantung adat yang berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya menu hidangan “lebih dari sekedarnya” cenderung mirip menu hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga acara tersebut terkesan pesta kecil-kecilan, memang demikianlah kenyataannya.
Entah telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi adat dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara tersebut telah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (baca: “wajib”) untuk dikerjakan dan sebaliknya, bid’ah (hal yang baru dan ajaib) apabila ditinggalkan.
Para pembaca, pembahasan kajian kali ini bukan dimaksudkan untuk menyerang mereka yang suka tahlilan, namun sebagai nasehat untuk kita bersama agar berpikir lebih jernih dan dewasa bahwa kita (umat Islam) memiliki pedoman baku yang telah diyakini keabsahannya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.
Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah subhanahu wata’ala telah berfirman (artinya):
“Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa’: 59)
Historis Upacara Tahlilan
Para pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, di masa para sahabatnya ? dan para Tabi’in maupun Tabi’ut tabi’in. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan?
Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendo’akan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala agama lain dengan bacaan dari Al Qur’an, maupun dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala Islam menurut mereka.
Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.
Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam
Acara tahlilan –paling tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu:
Pertama: Pembacaan beberapa ayat/ surat Al Qur’an, dzikir-dzikir dan disertai dengan do’a-do’a tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit.
Kedua: Penyajian hidangan makanan.
Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam.
Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah.
1. Bacaan Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mayit.
Memang benar Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarakan?
Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah: 3)
Juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
“Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya.” (H.R Ath Thabrani)
Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Suatu ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: “Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam”, yang kedua menyatakan: “Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka”, yang terakhir menyatakan: “Saya tidak akan menikah”, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: “Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.” (Muttafaqun alaihi)
Para pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wata’ala menyatakan dalam Al Qur’an (artinya):
“Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya.” (Al Mulk: 2)
Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak. Simaklah firman Allah subhanahu wata’ala (artinya): “Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”. (Al Kahfi: 103-104)
Lebih ditegaskan lagi dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)
Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
فَالأَصْلُ فَي الْعِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ
“Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.”
Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’I:
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’at) sendiri”.
Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang hukum bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya”. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).
2. Penyajian hidangan makanan.
Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)
Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)
Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafi’i setelah menyebutkan perkataan Asy Syafi’i diatas didalam kitabnya Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: “Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bid’ah –pent).
Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafi’i?
Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadistnya:
اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ
“Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’far, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka.” (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya)
Mudah-mudahan pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu ‘a’lam.
WAKTU PELAKSANAAN TAHLILAN
Tahlilan atau upacara selamatan untuk orang yang telah meninggal, biasanya dilakukan pada hari pertama kematian sampai dengan hari ke-tujuh, selanjutnya dilakukan pada hari ke-40, ke-100, ke-satu tahun pertama, kedua, ketiga dst. Dan ada juga yang melakukan pada hari ke-1000. Dalam upacara dihari-hari tersebut, keluarga si mayyit mengundang orang untuk membaca beberapa ayat dan surat Al-Quran, tahlil, tasbih, tahmid, shalawat dan do'a. Pahala bacaan Al-Quran dan dzikir tersebut dihadiahkan kepada si mayyit.
Menurut penyelidikan para ahli, upacara tersebut diadopsi oleh para da'i terdahulu dari upacara kepercayaan Animisme, agama Budha dan Hindu. Menurut kepercayaan Animisme, Hinduisme dan Budhisme bila seseorang meninggal dunia maka ruhnya akan datang kerumah pada malam hari mengunjungi keluarganya. Jika dalam rumah tadi tidak ada orang ramai yang berkumpul-kumpul dan mengadakan upacara-upacara sesaji, seperti membakar kemenyan, dan sesaji terhadap yang ghaib atau ruh-ruh ghaib, maka ruh orang mati tadi akan marah dan masuk (sumerup) ke dalam jasad orang yang masih hidup dari keluarga si mati. Maka untuk itu semalaman para tetangga dan kawan-kawan atau masyarakat tidak tidur, membaca mantera-mantera atau sekedar kumpul-kumpul. Hal semacam itu dilakukan pada malam pertama kemtian, selanjutnya malam ketiga, ketujuh, ke-100, satu tahun, dua tahun dan malam ke-1000.
Setelah orang-orang yang mempunyai kepercayaan tersebut masuk Islam, mereka tetap melakukan upacara-upacara tersebut. Sebagai langkah awal, para da'i terdahulu tidak memberantasnya, tetapi mengalihkan dari upacara yang bersifat Hindu dan Budha itu menjadi upacara yang bernafaskan Islam. Sesaji diganti dengan nasi dan lauk-pauk untuk shodaqoh. Mantera-mantera digantika dengan dzikir, do'a dan bacaan-bacaan Al-Quran. Upacara semacam ini kemudian dianamakan Tahlilan yang sekarang telah membudaya pada sebagian besar masyarakat
Majelis muthala’ah dewan asatidzah tahdzibul washiyyah
Pertanyaan:
Mohon penjelasan dari redaksi al-qudwah tentang latar belakang adanya upacara dan acara tahlilan.
Jawaban:
Adanya perjamuan tahlilan ini diakibatkan oleh pemutar balikan informasi, masyarakat dengan yakin menganggap bahwa hal tersebut merupakan bagian dan sunnah nabi. Padahal, jika ditelusuri asal-usulnya dan dalil yang mendasarinya, tidaklah demikian.
Pengertian tahlilan
Tahlil secara bahasa adalah bacaan kalimat thayyibah (laa illa ha ilallah) namun kemudian kalimat tahlil menjadi sebuah istilah untuk rangkaian acara dan upacara ritual memperingati hari kematian yang biasa dilakukan oleh masyarakat pada umumnya. Berupa bacaan beberapa dzikir, al-qur’an dan doa tertentu yang dibacakan untuk mendoakan orang yang sudah mati. Dari sekian materi yang bacaanya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang, maka acara tersebut biasa dikenal dengan istilah tahlilan.
Tahlilan biasanya dilakukan pada hari pertama sampai dengan hari ketujuh, selanjutnya dilakukan padahari ke 40,100,1 tahun pertama kedua dan ketiga dan seterusnya.
Dan ada juga yang melakukannya padahari ke-1000.dalam upacara di hari-hari tersebut, keluarga si mayit mengundang orang untuk membaca beberapa ayat dan surat al-quran,tahlil, tasbih, tahmid, shalawat dan doa. Pahala bacaan a-quran dan dzikir tersebut dihadiahkan pada si mayit.
Sejarah tahlilan
Menurut penyelidikan para ahli, upacara tersebu berasal dariupacara kepercayaan animism, agama budha dan hindu.
Menurut kepercayaan animisme,hinduisme dan budhisme bila seseorang meninggal dunia maka ruhnya akan datang kerumah padamalam hari mengunjungikeluarganya.jika dalam rumah taditidak ada orang ramai yang berkumpul-kumpul dan mengadakan upacara-upacara sesaji,seperti membakar kemenyan, dan sesajiterhadap yang ghaib atau ruh-ruh ghaib, mka ruh orang mati tadi akan marahdan masuk menyurup kedalam jasad orang yang masih hidup dari keluarga simati.Maka untuk itu semalaman para tetangga dan kawan-kawan atau masyarakat tidak tidur, membaca mantera-mantera atausekedar kumpul-kumpul. Hal semacam itudiakukan padamalampertama kematian, selanjutnya malam ketiga,ketujuh, 100, 1 tahun, 2tahun, malam ke 1000.
Adapun acara dan upacara itu kemudian menjadi tradisi dalammasyarakat Indonesia,maka hal itu tidak terlepas dari sejarah masuknya Islam pada abad ke-17. Dan lebih spesifik lagi adanya tradisi tersebut tidak terlepas dari proses Islamisasi masyarakat jawa oleh para wali/sunan. Strategi para sunan untuk menyebarkan agama Islammenggunakan cara-cara yang halus dengan tujuan agar proses Islamisasi tidak menyakiti orang Jawa sehingga kepercayaan tersebut dirubah sedikit demi sedikit,salah satunya adalah melalui pendekatan tradisi.
Pada waktu walisanga tidak menentang tradisi Hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat,namun membiarkan tradisi itu berjalan hanya saja isinya diganti dengan nilai-nilai Islam,tradisi dulu bila ada orang mati maka sanak family dan tetangga berkumpul di rumah duka yang dilakukan bukannya mendoakan simati malah bergadang dan bermain judi atau mabuk-mabukan.
Setelah orang-orang yang mempunyai kepercayaan tersebut masuk Islam,mereka tetap melakukan upacara-upacara tersebut. WaliSanga tidak sertamerta membubarkan tradisi tersebut,masyarakat dibiarkan tetapberkumpul namun acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit,sedangkan bentuk upacaranya dialikan dari upacara yang bersifat hindu dan budha itu menjadi upacara yang bernafaskan Islam.Sesajidigantidengan nasi dan lauk-pauk untuk shodaqoh.Mantera-mantera digantikan dengan dzikir, doa dan bacaan-bacaan Alquran.
Pada perkembangan berikutnya tradisi seperti itu dilestarikan olehpara kyiai dari Nahdhatul Ulama (NU). Karena dakwah NU pada awalnya menggunakan pendekatan seperti yang dilakukan walisanga,yakni dalam merekrut pengikut menggunakan pendekatan tradisi.
Sedangkan acara dan upacara seperti itu berakar di masyarakat Islam Sunda tidakterlepas dari proses Islamisasi di tatar Sunda yang selain dibentuk melalui media seni yang digemari masyarakat. Ketika ulama masih sangata jarang kitab suci masih barang langka dan kehidupan masih diwarnai unsur mistis,penyampaian ajaran Islam yang dianggap lebih tepat padawaktu itu adalaha melalui media seni dalam upacara-upacara tradisi, seperti upacara tujuh bulanan, upacara kelahiran, kematian, hingga perkawinan yang semula berawal daritradisi lama diwarnai budaya Islam dengan pembacaan barzanji, marhabaan, salawat, dan tahlil.
Makan-makan di rumah orang kematian.
Soal : Apakah perkataan yang saya bacakan ini, hadis nabi atau tidak? Dan bagaimanakah sanadnya? Adakah shah? Dan apa maksudnya?
“adalah kami menganggap,bahwa bekumpul di rumah mayit dan mereka membuat makanan sesudah ditanam mayit itu,setengah daripada meratap(ratapan atas mayit itu adalah menangis dengan menyebut-nyebut kebaikan si mati)”
Jawab : adapun perkataan itu,diriwayatkan oleh ahmad dariJabir Bin Abdullah Al-Badali,dan sanad dari riwayat itu shahih.
Perkataan itu bukan hadis,hanya menunjukan bagaimana tanggapan sahabatdan tabi’in tentang hal itu. Maksud perkataan ini bahwa berkumpul-kumpul di rumah ahlimayit dan mereaka membuat makanan untuk orang yang dating it, oleh sahabat dan tabi’in dianggap meratap.
Alhasil bikin kenduriyang dikatakan olehorang sebelah sini,malamdua,malam tiga, tujuh, seratus haridll.Adalah termasuk dalam ratapan yang diharamkan oleh Nabi sendiri,dan diriwayatkan
“Berkata ‘Abdullah bin Ja’far : tatkala datanh kabar,bahwa ja’far tlah terbunuh,berkata Nabi SAW : bikinlah makanan untuk ahli rumah ja’far, karena sesungguhnya telah dating kepada mereka itu, satu perkara yang menduka citakan mereka. (H.S.R Syafi’I dan Ahmad)”
Maksudnya hadis ini, bahwa tatkala datang kabar kematian ja’far, maka Nabi menyuruh supaya orang lain membuat makanan untuk ahli rumah ja’far, bukanlah ahli mayit itu, yang akan memberi makanan-makanan buat orang-orang yang datang.
Soal : Bagaimanakah hukum bertahlil, dan selamatan di rumah ahli mayit pada tiga harinya dan seterusnya?
Jawab : bertahlil itu maksidnya disini adalah membaca la ilaha ilallah, bacaan itu baik sekali,tetapi tidak selamanya barang baik itu manjadi baik selama dikerjakanya bukan pada tempatnya.
Sembahyang itu baik, tetapi jikalau dikerjakan bukan pada masanya yang tertentu maka menjadi tidak baik. Adapun bertahlil di rumah orang kematian itu Nabi kita SAW dan sahabatnya tidak pernah menjalankannya atai memerintah supaya mengerjakannya.
Hal ini tidak ada khilafnya di antara ulama-ulama ahlufiqh yang mahsyur, terlebih-lebih imam yang empat.Maka keterangan ini menunjukan bahwa berdzikir dengan cara tersebut adalah bid’ah belaka. Mengerjakan selamatan sebagaimana yang biasa dilakukan di Inonesia hukumnya bid’ah,dan bid’ah tersebut seringkali mencelakakan orang –orang yang tidak mampu yang terkadang menjual barang-barangnya ataumenggadaikan atau meminjam uang gna mngadakan selamatan,sehingga hal ini merea bias menjadi tambah susah dan miskin.
Sesungguhnya menurut fikiran yang waras,bahwa orang susah itu tidak boleh dibikin tambah kesusahannya, tetapi harus diberi kesenangann yang bisa menghilangkan kesusahannya. Lantaran itu Nabi SAW menruruh supaya ahlumayit itu diberi makanan yang cukup.
“telah berkata ‘Abdullah bin ja’far : padakeike tersiar kabar terbunuhnya ja’far,bersabda Nabi SAW . hendaklah kamu bikinkan makanan untuk ahli rumah ja’far lantaran mereka itu telah kedatangan perkara yang menyusahkan mereka.” (H.S.R Ahmad, Abu Dawud, Turmudzie, Ibnu Majah, Syafi’ie dan thabarani)
Hadis ini menunjukan bahwa menurut sunah hendaklan ahlumayititu diberi makanan . bukan merekan yang mmberi makanan sebagaimana keadaan yang berlaku sekarang ini. Adapun orang-orang bersama makan dirumahnya ahlumayit, hukumnya sebagaimana yang tersebut dibawah ini:
“Telah berkata Jarier bin Abdullah Al-Bajli: Adalah kita (sekalian sahabat) menganggap, bahwa berkumpul dirumah ahlumayit, dan membuat makanan sesudah ditanam mayit itu masuk bilangan meratap.” (H.S.R Ahmaddan Ibnu Majah)
“ telah diriwayatkan, bahwa jarier pernah dating kepada Umar, lalu Umar bertanya :Adakah diratapkan atas mayit di kaum kamu? Menjawab Dia : Tidak! Lalu bertanya pula: Adakah orag-orang berkumpul dirumah ahlumayit dan membuat makanan? Menjawab Dia : Ya! Maka Umar berkata : Yang demikian itu ratapan.
Teah terbukti dai dua riwayat ini,bahwa sekalian sahabat telah mufakat dan melarang orang-orang bekumpul dan makan-makan di rumah ahlumayit,keadaan yang demikian itu dinamakan ratapan,sedang meratap itu hukumnya haram.
Soal: Seorang yang telah mati, kemudian kita mengucapkan atau menghadiahkan bacaan Al-Quran atau tahlil kepadanya, apakah sampai pahalanya itu kepadanya?
Jawab: Menurut ayat-ayatAl-quran,bahwa paha quran atau tahlil atau lain-lain amalan yang dibuat orang yang hidup untuk orang mati itu, tidak sampai kepada simati.
Dengarlah sabda Nabi SAW :
“Apablia anak Adam itu mati,maka putuslah amalannya, kcuali tiga perkara.Pertama shodaqoh jariah (waqaf), ilmuyang orang ambil manfaat darinya,ketiga anak yang shalih yang mendoakan dia” (H.S.R Abu Dawud)
Maksud hadis itu bahwa amalan simati tidak akan bertambah,kecuali dengan tiga yang dsebut itu,dan yang disebutkan itu adalah usaha sendiri padawaktuhidupnya.
Dan firman Allah :
“Dan sesungguhnya manusia tidak akan dapat (ganjaran) melainkann dari apa yang ia kerjakan sendiri” (Q.S An-Najm:39)
“maka pada hari qiamat ini,tidaklah seseorang kakan dianiaya sedikitpun, dan tidak dibalas kamu,kecuali apa yang telah kamu kerjakan” (Q.S Yasin : 54)
Maksud ayat ini,menyatakan dengan terang, bahwa hari kiamat itu tidaklah seseorang akan dianiaya dn manusia itu tidaklah akan dapat ganjaran,melainkan dari apa yang ia usahakan di dunia ini. Usaha orang lain seperti bacaqur’an,Tahlield sb itu.tidaklah si mati tidak akan dapat pahalanya,lagipula kalau sampai pahala al-quran atau tahlil itu kepada simati, tentulah akan dikerjakan oleh Nabi SAW atau oleh sahabat-sahabatnya dan tentulah diriwayatkan dari padanya, padahal satu patah kalimatpun tidak menunjukan kepada yang demikian itu
- Kalau pahala boleh dihadiahkan, mengapa tidak di hadiahkan pahala kepada sihidup
- Imam Syafi’ie sendiri berkata : “Pahala bacaan tidak sampai kepada simati”
Adapun juga meriwayatkan hadis-hadis tentang anak menghajikan orang tuanya dan juga tentang ornag hidup bersedekah untuk orang yang mati,tetapi oleh sebab berlawanan dengan ayat-ayat alquran yang begitu kuat dan tegas,maka takdapatlah kita katakana hadis-hadis itu shahih.
Soal : di soal jawab yang lalu tuan-tuan membicarakan tentang tahlil da tuan-tuan katakan tidak berfaidah.Ditempat kami ada orang alim membolehkan,dengan mengeluarkan hadis,haraptuan terangkan lebih jauh.
Jawab: Persoalan ini kami sudah menerangkan beberapa kali di beberapa tempat.
Tahlil yang biasa dikerjakan orang disini ialah kalau ada kematian,maka sesudah mereka bekumpul ramai-ramai lalu tuan syekh tahlil mulai bertahlil dan diturut oleh orang ramai.setelah habis tahlil lalu berdoa dengan bahasa arab yang kebanyakan tukang doanya tidak mengrti artinya,lalu ada sebagian dari mereka menghadiahkan pahala bacaannya itu kepada si mayit.
Sesudah itu,terus makan-makan lalu pulang dan dapat upah terkadang. Begitulah dikerjakan sampai 3, 7, atau 40 hari. Sebelum menetapkan hukum-hukumnya, baik kita mmbuat pertanyaan dahulu supaya terang.
Di satu rumah,kalau ada keatian, apakah yang diperintahkan oleh agama kepada ahli rumah?
Adakah agama memerintahkan bertahlil untuk orang mati dan makan-makan dirumah orang itu?
Dapatkah pahala orang yang mengerjakan tahlil?
Kalau orang yan mengerjakan tahlil dapat pahala,dapatlah pahalanya itu hadiah kepada simati?
Jawaban 1 : di bsatu rumah,kalau ada kematian Nabi SAW mmerintahkan tetangga-tetangga ahli rumah itu member makanan,karena ahlirumah itu dapat kesusahan yang melalaikan mereka
Jawaban 2 : Quran dan hadis tidak memerintahkan kita bertahlil untuk simati, Nabitidak penah mengerjakan, sahabat-sahabat tidak pernah mengerjakan bahkan mnuru riwayat bahwa berkumpul-kumpul di rumah ornag kematian dan membuat makanan sesudah kematian itu sahabat menganggap sebagai niaahah : ratapan, sedang ratapan (tangisan mayit) itu dilarang keras oleh agama.
Jawaban 3 : Tahlil tidak diperintahkan oleh Quran,tidak pernah dikerjakan oleh Nabi SAW tidak pernah dijalankan oleh sahabat tidak pernah diperbuat oleh tabi’in,ini bahkan tidak pernah diperbuat oleh imam yang empat
Mintalah keterangan adanya tahlil itu dari pihak yang menyunatkan tahlil.
Jawaban 4 : Urusan dapat pahala di dalam perkara seperti yang tersebut itu, tidakdiketahui oleh seorang, kecuali kalau dikabarkan oleh al-quran atau hadis atau diamalkan oleh sahabat yang didiamkan oleh Rasulullah.
Didalam urusan tahlil, tdak ada satupun keterangan-keterangan yang ada, maka tidak dapat dikatan yang mengerjakan tahlil itu mendapat pahala. Orang-orang yang menyunatkan tahlil selalu berkata bahwa subhanallah Allahu akbar dll yang terpakai ditahlil itu baik,maka orang yang mengerjakan kenaikan itu tentu dapat pahala.
Kita jawab bahwa tiap-tiap bacaan dan pekerjaan boleh dikatakan baik kalau dikerjakan pada tempatnya dan masa yang ditentukan oleh agama, Umpamanya, kalau seorangsujud diwaktu jam 10 siang 5 kali dan tiap-tiap sujud dia baca attahiyat, dan diantara dua sujud dia baca al-fatihah, lalu ia hadiahkan pahalanya kepada simati, tentu tidak ada ulama yang membolehkannya!apa sebab?
Tidak lain karena diatur sendiri, bukan diatur oleh agama,padahal sujud itu semua orang mngakui baiknya dan al-fatihah serta attahiyat tidak ada yang mengatakan tidak baik.
Begitu juga kalau tahlil di waktu keluar dari kakus tentu dikeji hingga orang yang membolehkan tahlil sendiri padahal ia sendiri mengkui baiknya tahlil. Pendeknya tidak ada satupun perkara ibadat atau urusan bacaan yang menghasilkan pahala melainkan harus ada keterangan dari agama dengan cara-caranya dan ketetapan waktu dan tempatnya.
Jawaban 5 : Walaupun yang mngerjakan tahlil dapat pahala-padahal tidak-maka perlu pula kepada keterangan lain tentang membolehkan ia mnghadiahkan pahalanya itu kepada simati,padahal tidak ada keterangan tentang itu sama sekali.
Didalam hadis hadis ada tersebut bahwa seorang anak boleh menghajikan dan puasakan orang tuanya, tetapi hadis itu karena berlawanan dengan ayat al-quran, dapa tmelainkan amalnya sendiri. Maka tidak dapat dipandang hadis itu hahih, yakni tidak dapat kita percaya bahwa rasulullah pernah berkata begitu
Juga menurut fikiran bahwa ibadat itu perlunya membersihkan seseorang yang mengerjakannya, kalau ibadat di over-over (diberikan),seolah=olah Allah pelu kepada ibadat itu walaupun orang lain sebagaimana seorang yang meminjamkan uang perlu mendapat uang itu walaupun dari siapa saja, lagi kalau ibadat seseorang, bolhe dikerjakan oleh seorang dan pahala satu ibadatitu boleh di over-overkan,mengapa tidak ditahlilkan sihidup?mengapakah sembahyang seorang yang hidup,tidak boleh dikerjakan oleh orang lain dengan upah,umpamanya?
Soal : seorang,biasanya kalau dating sahabat ia keluarkan air teh,dan kalau kebetulan waktu makan, ia ajak makan. Orang ini kemtian seorang anak.Di hari itu ia tidak diberi makan atau minuman kepada orang-orang yang melawat.sesudah tu, kira-kira lima hari datang seorang sahabat dengan urusan lain,maka setelah setengah jam tuan rumah keluarkan teh dan kueh-kueh,sahabat yang datang tadi tidak mau makan dengan alasan tidak boleh makan dirumah orang kematian.
Kira-kira sebulan dari itu sahabattersebu dating lagi dan tuan rumah keluarkan teh dan kue-kue lagi, sahabat itu menolak lagi dngan alasan takut syubhat dan takut melanggar firman Allah yang artinya “..jangan engkau tiru apa yang engkau tidak tahu” (Bani Israil:36) dan beralasan dengan hadis yang artinya “tinggalkanlah sesuatu yang meragu-ragukanmu kepada sesuatuyang tidak meragu-ragukanmu”
Terangkan manakah yang benar?
Jawab : Kalau ada orang kematian, maka agama peintah orang yang terdekat member makan orang-orang rumah itu.Juga agama larang kita berkumpul makan dan minum dirumah itu sesudah ditanam mayit.
Agama tidak membatasi, beberapa hari harunya member makan kepada ahli rumah yang keatian itu,dan tidak juga agama menentukan brapa hari lamanya tidak boleh kita berkumpul makan minum orang kematian tadi.
Karena itu perlu kita fikirkan dan tetapkan batas-batas iu atau kita lepaskan buat selama-lamanya,dari pembatasan dan tidaknya itu bias timbul tiga macam ktetapan yang perlu difikirkan :
Tidak terbatas sama sekali buatselama-lamanya.
Terbatas buat ahli rumah dan atau tidak boleh makan minum dirumah itu buat hari kematian saja
Terbatas sehari atau beberapa hari yang dirasa ahli rumah itu masih bersusah hati memikirkan si mati.
Orang yang tidak mau membatas diri karena agama tidak menetapkan batasnya iu.
Berarti menetpkan tetangga harus member makan kepada ahli rumah selama-lamanya
Terpaksa menetapkan tidak boleh orang-orang lain makan minum di rumah kematian iu selama-lamanya
Kalau dijalankan anggapan ini,barang kali di dunia tidak ada satupun rumah yang boleh kita makan minum padanya lagi
Saya percaya bahwa tidak sekali-kali agama memerintah tetangga meberi makan kepada ahli rumah kematian itu selama-lamanya dengan tidak ada batasnya, dan saya percaya agama tidak melarang kita makan di rumah kematian itu selama-lamanya.
Tidak ada begitu kejadian di zaman Nabi atau sesudahnya bahkan tidak mungkin akan terjadi kejadian begitu, sekarang tinggal
Batas sekali memberi makan ahli rumah kmatian, itu dengan alasan bahwa perintah Nabi itu sekurang-kurangnya perlu dijalankan sekali, dan
Tidak berkumpul-kumpul dan makan minum di rumah kematian itu hanya buat hari yang pertama saja dengan alasan bahwa alasan itu sekurang-kurangnya sesudah ditanam mayit itu.
Orang yang memegang anggapan begini tentulah tidak akan member makan orang-orang yang kematian itu melainkan sekali saja dan tidak akan berkumpul dan tidak akan makan minum seperti biasa melainkan pada hari itu pertama saja.
Oleh sebab batasan itu dengan fikiran karena tidak ada keterangansedang batasa itu, maka saya pilih ketetapan yang ketiga, yaitu bahwa kita memberi makan minum kepada tetangga yang kematian sekurang-kurangnya sehari,kalau mereka tidak begitu susah atas kematian itu sangat menyedihkan mereka, umpamanya yang mati itu kepala keluarga yang menanggung keperluan semua ahli rumah itu.
Begitu juga jangan kita pergi nerkumpul-kumpul makan-makan kue dan minum-minum the dirumah itu beberapa hari, kira-kira pada penglihatan adatdapat dipisahkan antara makan-makan biasa dan yang berhubung dengan pelawatan atas kematian itu.
Tentang kumpul-kumpul makan minum dirumah kematian itu ada sebagian daripada saudara-saudara yang tidak mengerjakan talqin dan tahlil berkata “kedatangan kami ke rumah itu untuk menggirangkan hati orang-orang yang kematian, karena tidak diramai-ramaikan orang-orang yang kemaian itu merasa sedih.
Pertanyaan itu perlu kita jawab
Agama sudah mengatur cara menghiburkan orang yang kematian itu,yaitu berkata “ jangan tuan susah hati atas kematian ini,karena kita semua akan mati.mudah-mudahan Allah ganti kerugian tuan itu!
Orang yang sudah biasa kematian dan memperhatikan urusan tersebut, tentu tahu bahwa orang-orang berkumpul di rumah kita itu tidak menghibur kita, hanya melalaikan kita daripada memikirkan dan daripada bersedih sebentar. Setelah orang-orang itu pulang,kita kembali pada kesedihan kita.Kalau dibiarkan dua atau tiga hari, peringatan dan kesedihan itu akan hilang sendiri.
Pendeknya agama sudah mengatur cara-cara di rumah kematian dan cara-cara di rumah perkawinan, kalau kita ambil alasan hendak menggembirakan hati orang yang kematian,sudah tentu mai music dan lain-lain bias dujadikan penghibur,kalau begitu, tidak ada perbedaaan antara rumah orang mati dan rumah orang kawin!
soal : Apakah ada keterangan dalam agama buat membikin selamatan seorang istri yang hamil tujuh bulan?
Jawab : dari mula-mula seorang hamil sampai ia melahirka kandungannya tidak adasatupun kenduri,selamatan,pesta atau perjamuan yang ditetapkan oleh agama.
Agama memerintahkan kita supaya membuat perjamuan(bukan selamatan) di waktu kawin, dengan tidak pakai bacaan atau tahlil dsb.Dan diperintahkan kita aqiqah buat anak-anak.yakni kalau kita dapat anak, maka pada hari yang ketujuh diperintah menyembelih dua atau kambing buat anak laki-laki dan satu kambing buat anak perempuan,dan dipeintah kita cukur kepala anak tadi sedekahnya diuangkan seberat rambutnya itu, dan di hari itu juga kita beri nama bagi anak kita, dan daging sembelihan itu diperintahkan juga kita kita kirimkan kepada orang miskin dan juga buat kita makan sendiri.di dalam hal tersebut semua tidak sekali-sekali ada bacaan doa selamat, tahlil atau baca barzanji dsb.
Soal : bagaimana halnya dengan makanan tahlilan?
Jawab : adapun makanan seperti nasi, tahu,tempe dsb adalah makanan dari asalnya sudah mempunyai hukum halal
Namun benda-benda yang asalnya halal dapat berubah menjadi aram, apabila timbulnya dari perbuatan haram. Rasulullah bersabda :
“barangsiapa daginya timbul dari jalan haram, maka nerakalah yang terlebih patut baginya.” (H.S.R Hakim)
Tahlilan Hari ke 3, 7, dst itu adalah amalan yang tidak ada dalam Islam. Setiap amalan yang tidak ada Dalam Islam lalu di ada-adakan orang disebut bid’ah, menururt sabda Nabi SAW adalah sesat, dan setiap kesesatan itu adalah tempatnya neraka.
Makan nasi, tempe,tahu dsb yang timbul dari perbuatan bid’ah itu tentulah haram juga, haramnya itu timbul dari perbutan yang bid’ah, disebut “haram ‘aradhi”, yakni haram mendatang
Bagaimana upacara adat pada pernikahan?
Upacara adat sebagian besar berasal dari mitos yang mengandung syirik, bid’ah , tahyul, dan tabdzir sehingga hukumnya haram
Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.
Tidak lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali acara diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif, tergantung adat yang berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya menu hidangan “lebih dari sekedarnya” cenderung mirip menu hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga acara tersebut terkesan pesta kecil-kecilan, memang demikianlah kenyataannya.
Entah telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi adat dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara tersebut telah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (baca: “wajib”) untuk dikerjakan dan sebaliknya, bid’ah (hal yang baru dan ajaib) apabila ditinggalkan.
Para pembaca, pembahasan kajian kali ini bukan dimaksudkan untuk menyerang mereka yang suka tahlilan, namun sebagai nasehat untuk kita bersama agar berpikir lebih jernih dan dewasa bahwa kita (umat Islam) memiliki pedoman baku yang telah diyakini keabsahannya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.
Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah subhanahu wata’ala telah berfirman (artinya):
“Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa’: 59)
Historis Upacara Tahlilan
Para pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, di masa para sahabatnya ? dan para Tabi’in maupun Tabi’ut tabi’in. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan?
Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendo’akan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala agama lain dengan bacaan dari Al Qur’an, maupun dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala Islam menurut mereka.
Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.
Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam
Acara tahlilan –paling tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu:
Pertama: Pembacaan beberapa ayat/ surat Al Qur’an, dzikir-dzikir dan disertai dengan do’a-do’a tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit.
Kedua: Penyajian hidangan makanan.
Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam.
Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah.
1. Bacaan Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mayit.
Memang benar Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarakan?
Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah: 3)
Juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
“Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya.” (H.R Ath Thabrani)
Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Suatu ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: “Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam”, yang kedua menyatakan: “Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka”, yang terakhir menyatakan: “Saya tidak akan menikah”, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: “Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.” (Muttafaqun alaihi)
Para pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wata’ala menyatakan dalam Al Qur’an (artinya):
“Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya.” (Al Mulk: 2)
Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak. Simaklah firman Allah subhanahu wata’ala (artinya): “Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”. (Al Kahfi: 103-104)
Lebih ditegaskan lagi dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)
Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
فَالأَصْلُ فَي الْعِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ
“Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.”
Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’I:
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’at) sendiri”.
Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang hukum bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya”. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).
2. Penyajian hidangan makanan.
Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)
Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)
Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafi’i setelah menyebutkan perkataan Asy Syafi’i diatas didalam kitabnya Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: “Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bid’ah –pent).
Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafi’i?
Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadistnya:
اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ
“Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’far, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka.” (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya)
Mudah-mudahan pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu ‘a’lam.
WAKTU PELAKSANAAN TAHLILAN
Tahlilan atau upacara selamatan untuk orang yang telah meninggal, biasanya dilakukan pada hari pertama kematian sampai dengan hari ke-tujuh, selanjutnya dilakukan pada hari ke-40, ke-100, ke-satu tahun pertama, kedua, ketiga dst. Dan ada juga yang melakukan pada hari ke-1000. Dalam upacara dihari-hari tersebut, keluarga si mayyit mengundang orang untuk membaca beberapa ayat dan surat Al-Quran, tahlil, tasbih, tahmid, shalawat dan do'a. Pahala bacaan Al-Quran dan dzikir tersebut dihadiahkan kepada si mayyit.
Menurut penyelidikan para ahli, upacara tersebut diadopsi oleh para da'i terdahulu dari upacara kepercayaan Animisme, agama Budha dan Hindu. Menurut kepercayaan Animisme, Hinduisme dan Budhisme bila seseorang meninggal dunia maka ruhnya akan datang kerumah pada malam hari mengunjungi keluarganya. Jika dalam rumah tadi tidak ada orang ramai yang berkumpul-kumpul dan mengadakan upacara-upacara sesaji, seperti membakar kemenyan, dan sesaji terhadap yang ghaib atau ruh-ruh ghaib, maka ruh orang mati tadi akan marah dan masuk (sumerup) ke dalam jasad orang yang masih hidup dari keluarga si mati. Maka untuk itu semalaman para tetangga dan kawan-kawan atau masyarakat tidak tidur, membaca mantera-mantera atau sekedar kumpul-kumpul. Hal semacam itu dilakukan pada malam pertama kemtian, selanjutnya malam ketiga, ketujuh, ke-100, satu tahun, dua tahun dan malam ke-1000.
Setelah orang-orang yang mempunyai kepercayaan tersebut masuk Islam, mereka tetap melakukan upacara-upacara tersebut. Sebagai langkah awal, para da'i terdahulu tidak memberantasnya, tetapi mengalihkan dari upacara yang bersifat Hindu dan Budha itu menjadi upacara yang bernafaskan Islam. Sesaji diganti dengan nasi dan lauk-pauk untuk shodaqoh. Mantera-mantera digantika dengan dzikir, do'a dan bacaan-bacaan Al-Quran. Upacara semacam ini kemudian dianamakan Tahlilan yang sekarang telah membudaya pada sebagian besar masyarakat
Majelis muthala’ah dewan asatidzah tahdzibul washiyyah
Pertanyaan:
Mohon penjelasan dari redaksi al-qudwah tentang latar belakang adanya upacara dan acara tahlilan.
Jawaban:
Adanya perjamuan tahlilan ini diakibatkan oleh pemutar balikan informasi, masyarakat dengan yakin menganggap bahwa hal tersebut merupakan bagian dan sunnah nabi. Padahal, jika ditelusuri asal-usulnya dan dalil yang mendasarinya, tidaklah demikian.
Pengertian tahlilan
Tahlil secara bahasa adalah bacaan kalimat thayyibah (laa illa ha ilallah) namun kemudian kalimat tahlil menjadi sebuah istilah untuk rangkaian acara dan upacara ritual memperingati hari kematian yang biasa dilakukan oleh masyarakat pada umumnya. Berupa bacaan beberapa dzikir, al-qur’an dan doa tertentu yang dibacakan untuk mendoakan orang yang sudah mati. Dari sekian materi yang bacaanya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang, maka acara tersebut biasa dikenal dengan istilah tahlilan.
Tahlilan biasanya dilakukan pada hari pertama sampai dengan hari ketujuh, selanjutnya dilakukan padahari ke 40,100,1 tahun pertama kedua dan ketiga dan seterusnya.
Dan ada juga yang melakukannya padahari ke-1000.dalam upacara di hari-hari tersebut, keluarga si mayit mengundang orang untuk membaca beberapa ayat dan surat al-quran,tahlil, tasbih, tahmid, shalawat dan doa. Pahala bacaan a-quran dan dzikir tersebut dihadiahkan pada si mayit.
Sejarah tahlilan
Menurut penyelidikan para ahli, upacara tersebu berasal dariupacara kepercayaan animism, agama budha dan hindu.
Menurut kepercayaan animisme,hinduisme dan budhisme bila seseorang meninggal dunia maka ruhnya akan datang kerumah padamalam hari mengunjungikeluarganya.jika dalam rumah taditidak ada orang ramai yang berkumpul-kumpul dan mengadakan upacara-upacara sesaji,seperti membakar kemenyan, dan sesajiterhadap yang ghaib atau ruh-ruh ghaib, mka ruh orang mati tadi akan marahdan masuk menyurup kedalam jasad orang yang masih hidup dari keluarga simati.Maka untuk itu semalaman para tetangga dan kawan-kawan atau masyarakat tidak tidur, membaca mantera-mantera atausekedar kumpul-kumpul. Hal semacam itudiakukan padamalampertama kematian, selanjutnya malam ketiga,ketujuh, 100, 1 tahun, 2tahun, malam ke 1000.
Adapun acara dan upacara itu kemudian menjadi tradisi dalammasyarakat Indonesia,maka hal itu tidak terlepas dari sejarah masuknya Islam pada abad ke-17. Dan lebih spesifik lagi adanya tradisi tersebut tidak terlepas dari proses Islamisasi masyarakat jawa oleh para wali/sunan. Strategi para sunan untuk menyebarkan agama Islammenggunakan cara-cara yang halus dengan tujuan agar proses Islamisasi tidak menyakiti orang Jawa sehingga kepercayaan tersebut dirubah sedikit demi sedikit,salah satunya adalah melalui pendekatan tradisi.
Pada waktu walisanga tidak menentang tradisi Hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat,namun membiarkan tradisi itu berjalan hanya saja isinya diganti dengan nilai-nilai Islam,tradisi dulu bila ada orang mati maka sanak family dan tetangga berkumpul di rumah duka yang dilakukan bukannya mendoakan simati malah bergadang dan bermain judi atau mabuk-mabukan.
Setelah orang-orang yang mempunyai kepercayaan tersebut masuk Islam,mereka tetap melakukan upacara-upacara tersebut. WaliSanga tidak sertamerta membubarkan tradisi tersebut,masyarakat dibiarkan tetapberkumpul namun acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit,sedangkan bentuk upacaranya dialikan dari upacara yang bersifat hindu dan budha itu menjadi upacara yang bernafaskan Islam.Sesajidigantidengan nasi dan lauk-pauk untuk shodaqoh.Mantera-mantera digantikan dengan dzikir, doa dan bacaan-bacaan Alquran.
Pada perkembangan berikutnya tradisi seperti itu dilestarikan olehpara kyiai dari Nahdhatul Ulama (NU). Karena dakwah NU pada awalnya menggunakan pendekatan seperti yang dilakukan walisanga,yakni dalam merekrut pengikut menggunakan pendekatan tradisi.
Sedangkan acara dan upacara seperti itu berakar di masyarakat Islam Sunda tidakterlepas dari proses Islamisasi di tatar Sunda yang selain dibentuk melalui media seni yang digemari masyarakat. Ketika ulama masih sangata jarang kitab suci masih barang langka dan kehidupan masih diwarnai unsur mistis,penyampaian ajaran Islam yang dianggap lebih tepat padawaktu itu adalaha melalui media seni dalam upacara-upacara tradisi, seperti upacara tujuh bulanan, upacara kelahiran, kematian, hingga perkawinan yang semula berawal daritradisi lama diwarnai budaya Islam dengan pembacaan barzanji, marhabaan, salawat, dan tahlil.
Makan-makan di rumah orang kematian.
Soal : Apakah perkataan yang saya bacakan ini, hadis nabi atau tidak? Dan bagaimanakah sanadnya? Adakah shah? Dan apa maksudnya?
“adalah kami menganggap,bahwa bekumpul di rumah mayit dan mereka membuat makanan sesudah ditanam mayit itu,setengah daripada meratap(ratapan atas mayit itu adalah menangis dengan menyebut-nyebut kebaikan si mati)”
Jawab : adapun perkataan itu,diriwayatkan oleh ahmad dariJabir Bin Abdullah Al-Badali,dan sanad dari riwayat itu shahih.
Perkataan itu bukan hadis,hanya menunjukan bagaimana tanggapan sahabatdan tabi’in tentang hal itu. Maksud perkataan ini bahwa berkumpul-kumpul di rumah ahlimayit dan mereaka membuat makanan untuk orang yang dating it, oleh sahabat dan tabi’in dianggap meratap.
Alhasil bikin kenduriyang dikatakan olehorang sebelah sini,malamdua,malam tiga, tujuh, seratus haridll.Adalah termasuk dalam ratapan yang diharamkan oleh Nabi sendiri,dan diriwayatkan
“Berkata ‘Abdullah bin Ja’far : tatkala datanh kabar,bahwa ja’far tlah terbunuh,berkata Nabi SAW : bikinlah makanan untuk ahli rumah ja’far, karena sesungguhnya telah dating kepada mereka itu, satu perkara yang menduka citakan mereka. (H.S.R Syafi’I dan Ahmad)”
Maksudnya hadis ini, bahwa tatkala datang kabar kematian ja’far, maka Nabi menyuruh supaya orang lain membuat makanan untuk ahli rumah ja’far, bukanlah ahli mayit itu, yang akan memberi makanan-makanan buat orang-orang yang datang.
Soal : Bagaimanakah hukum bertahlil, dan selamatan di rumah ahli mayit pada tiga harinya dan seterusnya?
Jawab : bertahlil itu maksidnya disini adalah membaca la ilaha ilallah, bacaan itu baik sekali,tetapi tidak selamanya barang baik itu manjadi baik selama dikerjakanya bukan pada tempatnya.
Sembahyang itu baik, tetapi jikalau dikerjakan bukan pada masanya yang tertentu maka menjadi tidak baik. Adapun bertahlil di rumah orang kematian itu Nabi kita SAW dan sahabatnya tidak pernah menjalankannya atai memerintah supaya mengerjakannya.
Hal ini tidak ada khilafnya di antara ulama-ulama ahlufiqh yang mahsyur, terlebih-lebih imam yang empat.Maka keterangan ini menunjukan bahwa berdzikir dengan cara tersebut adalah bid’ah belaka. Mengerjakan selamatan sebagaimana yang biasa dilakukan di Inonesia hukumnya bid’ah,dan bid’ah tersebut seringkali mencelakakan orang –orang yang tidak mampu yang terkadang menjual barang-barangnya ataumenggadaikan atau meminjam uang gna mngadakan selamatan,sehingga hal ini merea bias menjadi tambah susah dan miskin.
Sesungguhnya menurut fikiran yang waras,bahwa orang susah itu tidak boleh dibikin tambah kesusahannya, tetapi harus diberi kesenangann yang bisa menghilangkan kesusahannya. Lantaran itu Nabi SAW menruruh supaya ahlumayit itu diberi makanan yang cukup.
“telah berkata ‘Abdullah bin ja’far : padakeike tersiar kabar terbunuhnya ja’far,bersabda Nabi SAW . hendaklah kamu bikinkan makanan untuk ahli rumah ja’far lantaran mereka itu telah kedatangan perkara yang menyusahkan mereka.” (H.S.R Ahmad, Abu Dawud, Turmudzie, Ibnu Majah, Syafi’ie dan thabarani)
Hadis ini menunjukan bahwa menurut sunah hendaklan ahlumayititu diberi makanan . bukan merekan yang mmberi makanan sebagaimana keadaan yang berlaku sekarang ini. Adapun orang-orang bersama makan dirumahnya ahlumayit, hukumnya sebagaimana yang tersebut dibawah ini:
“Telah berkata Jarier bin Abdullah Al-Bajli: Adalah kita (sekalian sahabat) menganggap, bahwa berkumpul dirumah ahlumayit, dan membuat makanan sesudah ditanam mayit itu masuk bilangan meratap.” (H.S.R Ahmaddan Ibnu Majah)
“ telah diriwayatkan, bahwa jarier pernah dating kepada Umar, lalu Umar bertanya :Adakah diratapkan atas mayit di kaum kamu? Menjawab Dia : Tidak! Lalu bertanya pula: Adakah orag-orang berkumpul dirumah ahlumayit dan membuat makanan? Menjawab Dia : Ya! Maka Umar berkata : Yang demikian itu ratapan.
Teah terbukti dai dua riwayat ini,bahwa sekalian sahabat telah mufakat dan melarang orang-orang bekumpul dan makan-makan di rumah ahlumayit,keadaan yang demikian itu dinamakan ratapan,sedang meratap itu hukumnya haram.
Soal: Seorang yang telah mati, kemudian kita mengucapkan atau menghadiahkan bacaan Al-Quran atau tahlil kepadanya, apakah sampai pahalanya itu kepadanya?
Jawab: Menurut ayat-ayatAl-quran,bahwa paha quran atau tahlil atau lain-lain amalan yang dibuat orang yang hidup untuk orang mati itu, tidak sampai kepada simati.
Dengarlah sabda Nabi SAW :
“Apablia anak Adam itu mati,maka putuslah amalannya, kcuali tiga perkara.Pertama shodaqoh jariah (waqaf), ilmuyang orang ambil manfaat darinya,ketiga anak yang shalih yang mendoakan dia” (H.S.R Abu Dawud)
Maksud hadis itu bahwa amalan simati tidak akan bertambah,kecuali dengan tiga yang dsebut itu,dan yang disebutkan itu adalah usaha sendiri padawaktuhidupnya.
Dan firman Allah :
“Dan sesungguhnya manusia tidak akan dapat (ganjaran) melainkann dari apa yang ia kerjakan sendiri” (Q.S An-Najm:39)
“maka pada hari qiamat ini,tidaklah seseorang kakan dianiaya sedikitpun, dan tidak dibalas kamu,kecuali apa yang telah kamu kerjakan” (Q.S Yasin : 54)
Maksud ayat ini,menyatakan dengan terang, bahwa hari kiamat itu tidaklah seseorang akan dianiaya dn manusia itu tidaklah akan dapat ganjaran,melainkan dari apa yang ia usahakan di dunia ini. Usaha orang lain seperti bacaqur’an,Tahlield sb itu.tidaklah si mati tidak akan dapat pahalanya,lagipula kalau sampai pahala al-quran atau tahlil itu kepada simati, tentulah akan dikerjakan oleh Nabi SAW atau oleh sahabat-sahabatnya dan tentulah diriwayatkan dari padanya, padahal satu patah kalimatpun tidak menunjukan kepada yang demikian itu
- Kalau pahala boleh dihadiahkan, mengapa tidak di hadiahkan pahala kepada sihidup
- Imam Syafi’ie sendiri berkata : “Pahala bacaan tidak sampai kepada simati”
Adapun juga meriwayatkan hadis-hadis tentang anak menghajikan orang tuanya dan juga tentang ornag hidup bersedekah untuk orang yang mati,tetapi oleh sebab berlawanan dengan ayat-ayat alquran yang begitu kuat dan tegas,maka takdapatlah kita katakana hadis-hadis itu shahih.
Soal : di soal jawab yang lalu tuan-tuan membicarakan tentang tahlil da tuan-tuan katakan tidak berfaidah.Ditempat kami ada orang alim membolehkan,dengan mengeluarkan hadis,haraptuan terangkan lebih jauh.
Jawab: Persoalan ini kami sudah menerangkan beberapa kali di beberapa tempat.
Tahlil yang biasa dikerjakan orang disini ialah kalau ada kematian,maka sesudah mereka bekumpul ramai-ramai lalu tuan syekh tahlil mulai bertahlil dan diturut oleh orang ramai.setelah habis tahlil lalu berdoa dengan bahasa arab yang kebanyakan tukang doanya tidak mengrti artinya,lalu ada sebagian dari mereka menghadiahkan pahala bacaannya itu kepada si mayit.
Sesudah itu,terus makan-makan lalu pulang dan dapat upah terkadang. Begitulah dikerjakan sampai 3, 7, atau 40 hari. Sebelum menetapkan hukum-hukumnya, baik kita mmbuat pertanyaan dahulu supaya terang.
Di satu rumah,kalau ada keatian, apakah yang diperintahkan oleh agama kepada ahli rumah?
Adakah agama memerintahkan bertahlil untuk orang mati dan makan-makan dirumah orang itu?
Dapatkah pahala orang yang mengerjakan tahlil?
Kalau orang yan mengerjakan tahlil dapat pahala,dapatlah pahalanya itu hadiah kepada simati?
Jawaban 1 : di bsatu rumah,kalau ada kematian Nabi SAW mmerintahkan tetangga-tetangga ahli rumah itu member makanan,karena ahlirumah itu dapat kesusahan yang melalaikan mereka
Jawaban 2 : Quran dan hadis tidak memerintahkan kita bertahlil untuk simati, Nabitidak penah mengerjakan, sahabat-sahabat tidak pernah mengerjakan bahkan mnuru riwayat bahwa berkumpul-kumpul di rumah ornag kematian dan membuat makanan sesudah kematian itu sahabat menganggap sebagai niaahah : ratapan, sedang ratapan (tangisan mayit) itu dilarang keras oleh agama.
Jawaban 3 : Tahlil tidak diperintahkan oleh Quran,tidak pernah dikerjakan oleh Nabi SAW tidak pernah dijalankan oleh sahabat tidak pernah diperbuat oleh tabi’in,ini bahkan tidak pernah diperbuat oleh imam yang empat
Mintalah keterangan adanya tahlil itu dari pihak yang menyunatkan tahlil.
Jawaban 4 : Urusan dapat pahala di dalam perkara seperti yang tersebut itu, tidakdiketahui oleh seorang, kecuali kalau dikabarkan oleh al-quran atau hadis atau diamalkan oleh sahabat yang didiamkan oleh Rasulullah.
Didalam urusan tahlil, tdak ada satupun keterangan-keterangan yang ada, maka tidak dapat dikatan yang mengerjakan tahlil itu mendapat pahala. Orang-orang yang menyunatkan tahlil selalu berkata bahwa subhanallah Allahu akbar dll yang terpakai ditahlil itu baik,maka orang yang mengerjakan kenaikan itu tentu dapat pahala.
Kita jawab bahwa tiap-tiap bacaan dan pekerjaan boleh dikatakan baik kalau dikerjakan pada tempatnya dan masa yang ditentukan oleh agama, Umpamanya, kalau seorangsujud diwaktu jam 10 siang 5 kali dan tiap-tiap sujud dia baca attahiyat, dan diantara dua sujud dia baca al-fatihah, lalu ia hadiahkan pahalanya kepada simati, tentu tidak ada ulama yang membolehkannya!apa sebab?
Tidak lain karena diatur sendiri, bukan diatur oleh agama,padahal sujud itu semua orang mngakui baiknya dan al-fatihah serta attahiyat tidak ada yang mengatakan tidak baik.
Begitu juga kalau tahlil di waktu keluar dari kakus tentu dikeji hingga orang yang membolehkan tahlil sendiri padahal ia sendiri mengkui baiknya tahlil. Pendeknya tidak ada satupun perkara ibadat atau urusan bacaan yang menghasilkan pahala melainkan harus ada keterangan dari agama dengan cara-caranya dan ketetapan waktu dan tempatnya.
Jawaban 5 : Walaupun yang mngerjakan tahlil dapat pahala-padahal tidak-maka perlu pula kepada keterangan lain tentang membolehkan ia mnghadiahkan pahalanya itu kepada simati,padahal tidak ada keterangan tentang itu sama sekali.
Didalam hadis hadis ada tersebut bahwa seorang anak boleh menghajikan dan puasakan orang tuanya, tetapi hadis itu karena berlawanan dengan ayat al-quran, dapa tmelainkan amalnya sendiri. Maka tidak dapat dipandang hadis itu hahih, yakni tidak dapat kita percaya bahwa rasulullah pernah berkata begitu
Juga menurut fikiran bahwa ibadat itu perlunya membersihkan seseorang yang mengerjakannya, kalau ibadat di over-over (diberikan),seolah=olah Allah pelu kepada ibadat itu walaupun orang lain sebagaimana seorang yang meminjamkan uang perlu mendapat uang itu walaupun dari siapa saja, lagi kalau ibadat seseorang, bolhe dikerjakan oleh seorang dan pahala satu ibadatitu boleh di over-overkan,mengapa tidak ditahlilkan sihidup?mengapakah sembahyang seorang yang hidup,tidak boleh dikerjakan oleh orang lain dengan upah,umpamanya?
Soal : seorang,biasanya kalau dating sahabat ia keluarkan air teh,dan kalau kebetulan waktu makan, ia ajak makan. Orang ini kemtian seorang anak.Di hari itu ia tidak diberi makan atau minuman kepada orang-orang yang melawat.sesudah tu, kira-kira lima hari datang seorang sahabat dengan urusan lain,maka setelah setengah jam tuan rumah keluarkan teh dan kueh-kueh,sahabat yang datang tadi tidak mau makan dengan alasan tidak boleh makan dirumah orang kematian.
Kira-kira sebulan dari itu sahabattersebu dating lagi dan tuan rumah keluarkan teh dan kue-kue lagi, sahabat itu menolak lagi dngan alasan takut syubhat dan takut melanggar firman Allah yang artinya “..jangan engkau tiru apa yang engkau tidak tahu” (Bani Israil:36) dan beralasan dengan hadis yang artinya “tinggalkanlah sesuatu yang meragu-ragukanmu kepada sesuatuyang tidak meragu-ragukanmu”
Terangkan manakah yang benar?
Jawab : Kalau ada orang kematian, maka agama peintah orang yang terdekat member makan orang-orang rumah itu.Juga agama larang kita berkumpul makan dan minum dirumah itu sesudah ditanam mayit.
Agama tidak membatasi, beberapa hari harunya member makan kepada ahli rumah yang keatian itu,dan tidak juga agama menentukan brapa hari lamanya tidak boleh kita berkumpul makan minum orang kematian tadi.
Karena itu perlu kita fikirkan dan tetapkan batas-batas iu atau kita lepaskan buat selama-lamanya,dari pembatasan dan tidaknya itu bias timbul tiga macam ktetapan yang perlu difikirkan :
Tidak terbatas sama sekali buatselama-lamanya.
Terbatas buat ahli rumah dan atau tidak boleh makan minum dirumah itu buat hari kematian saja
Terbatas sehari atau beberapa hari yang dirasa ahli rumah itu masih bersusah hati memikirkan si mati.
Orang yang tidak mau membatas diri karena agama tidak menetapkan batasnya iu.
Berarti menetpkan tetangga harus member makan kepada ahli rumah selama-lamanya
Terpaksa menetapkan tidak boleh orang-orang lain makan minum di rumah kematian iu selama-lamanya
Kalau dijalankan anggapan ini,barang kali di dunia tidak ada satupun rumah yang boleh kita makan minum padanya lagi
Saya percaya bahwa tidak sekali-kali agama memerintah tetangga meberi makan kepada ahli rumah kematian itu selama-lamanya dengan tidak ada batasnya, dan saya percaya agama tidak melarang kita makan di rumah kematian itu selama-lamanya.
Tidak ada begitu kejadian di zaman Nabi atau sesudahnya bahkan tidak mungkin akan terjadi kejadian begitu, sekarang tinggal
Batas sekali memberi makan ahli rumah kmatian, itu dengan alasan bahwa perintah Nabi itu sekurang-kurangnya perlu dijalankan sekali, dan
Tidak berkumpul-kumpul dan makan minum di rumah kematian itu hanya buat hari yang pertama saja dengan alasan bahwa alasan itu sekurang-kurangnya sesudah ditanam mayit itu.
Orang yang memegang anggapan begini tentulah tidak akan member makan orang-orang yang kematian itu melainkan sekali saja dan tidak akan berkumpul dan tidak akan makan minum seperti biasa melainkan pada hari itu pertama saja.
Oleh sebab batasan itu dengan fikiran karena tidak ada keterangansedang batasa itu, maka saya pilih ketetapan yang ketiga, yaitu bahwa kita memberi makan minum kepada tetangga yang kematian sekurang-kurangnya sehari,kalau mereka tidak begitu susah atas kematian itu sangat menyedihkan mereka, umpamanya yang mati itu kepala keluarga yang menanggung keperluan semua ahli rumah itu.
Begitu juga jangan kita pergi nerkumpul-kumpul makan-makan kue dan minum-minum the dirumah itu beberapa hari, kira-kira pada penglihatan adatdapat dipisahkan antara makan-makan biasa dan yang berhubung dengan pelawatan atas kematian itu.
Tentang kumpul-kumpul makan minum dirumah kematian itu ada sebagian daripada saudara-saudara yang tidak mengerjakan talqin dan tahlil berkata “kedatangan kami ke rumah itu untuk menggirangkan hati orang-orang yang kematian, karena tidak diramai-ramaikan orang-orang yang kemaian itu merasa sedih.
Pertanyaan itu perlu kita jawab
Agama sudah mengatur cara menghiburkan orang yang kematian itu,yaitu berkata “ jangan tuan susah hati atas kematian ini,karena kita semua akan mati.mudah-mudahan Allah ganti kerugian tuan itu!
Orang yang sudah biasa kematian dan memperhatikan urusan tersebut, tentu tahu bahwa orang-orang berkumpul di rumah kita itu tidak menghibur kita, hanya melalaikan kita daripada memikirkan dan daripada bersedih sebentar. Setelah orang-orang itu pulang,kita kembali pada kesedihan kita.Kalau dibiarkan dua atau tiga hari, peringatan dan kesedihan itu akan hilang sendiri.
Pendeknya agama sudah mengatur cara-cara di rumah kematian dan cara-cara di rumah perkawinan, kalau kita ambil alasan hendak menggembirakan hati orang yang kematian,sudah tentu mai music dan lain-lain bias dujadikan penghibur,kalau begitu, tidak ada perbedaaan antara rumah orang mati dan rumah orang kawin!
soal : Apakah ada keterangan dalam agama buat membikin selamatan seorang istri yang hamil tujuh bulan?
Jawab : dari mula-mula seorang hamil sampai ia melahirka kandungannya tidak adasatupun kenduri,selamatan,pesta atau perjamuan yang ditetapkan oleh agama.
Agama memerintahkan kita supaya membuat perjamuan(bukan selamatan) di waktu kawin, dengan tidak pakai bacaan atau tahlil dsb.Dan diperintahkan kita aqiqah buat anak-anak.yakni kalau kita dapat anak, maka pada hari yang ketujuh diperintah menyembelih dua atau kambing buat anak laki-laki dan satu kambing buat anak perempuan,dan dipeintah kita cukur kepala anak tadi sedekahnya diuangkan seberat rambutnya itu, dan di hari itu juga kita beri nama bagi anak kita, dan daging sembelihan itu diperintahkan juga kita kita kirimkan kepada orang miskin dan juga buat kita makan sendiri.di dalam hal tersebut semua tidak sekali-sekali ada bacaan doa selamat, tahlil atau baca barzanji dsb.
Soal : bagaimana halnya dengan makanan tahlilan?
Jawab : adapun makanan seperti nasi, tahu,tempe dsb adalah makanan dari asalnya sudah mempunyai hukum halal
Namun benda-benda yang asalnya halal dapat berubah menjadi aram, apabila timbulnya dari perbuatan haram. Rasulullah bersabda :
“barangsiapa daginya timbul dari jalan haram, maka nerakalah yang terlebih patut baginya.” (H.S.R Hakim)
Tahlilan Hari ke 3, 7, dst itu adalah amalan yang tidak ada dalam Islam. Setiap amalan yang tidak ada Dalam Islam lalu di ada-adakan orang disebut bid’ah, menururt sabda Nabi SAW adalah sesat, dan setiap kesesatan itu adalah tempatnya neraka.
Makan nasi, tempe,tahu dsb yang timbul dari perbuatan bid’ah itu tentulah haram juga, haramnya itu timbul dari perbutan yang bid’ah, disebut “haram ‘aradhi”, yakni haram mendatang
Bagaimana upacara adat pada pernikahan?
Upacara adat sebagian besar berasal dari mitos yang mengandung syirik, bid’ah , tahyul, dan tabdzir sehingga hukumnya haram
Barokallohu fiikum. Asal-usulnya dapat kita lihat di buku Parasit Akidah - tulisan Ust. Merzdedek, Bandung, yang mana tahlilan adalah bentuk ibadah baru yang mengikuti ibadah kepercayaan Tu & Yang. Mungkin antum sudah baca?
BalasHapus