Muhammad, Nabi & Rasûl Terakhir
Allâh Swt., berfirman, “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasûlullâh dan khâtamañabiýîn (penutup para Nabi). Dan adalah Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab [33] :40) ayat tersebut menjelaskan hakikatnya Muhammad bin Abdillâh bin Abdil Muthallib dengan tiga ciri; Pertama, Muhammad bukanlah bapak perseorangan, bermakna beliau merupakan bapak dunia, bapak seluruh orang, bukan bapak bangsa Arab terlebih bapaknya orang Timur Tengah. Kedua, Muhammad adalah Rasûlullâh (utusan Allâh) yang ditugaskan untuk menyampaikan risalah-Nya. Hal ini untuk mencounter prasangka diantara orang Arab (waktu itu) yang menganggap beliau seorang ahli sya’ir bahkan lebih buruk memandang beliau sebagai tukang sihir. Ketiga, Muhammad adalah Nabi terakhir yang diutus Allâh.
Diantara sekian banyak ayat Alqurân hanya satu ayat di atas (Qs. Al-Ahzab [33] :40) yang menjelaskan bahwa Muhammad merupakan Nabi terakhir. Ini menunjukkan kekhususan Nabi Muhammad Saw., yang tidak ada lagi Nabi sesudah beliau.
Jika seribu pertanyaan mengalir mempertanyakan; “Kenapa” Allâh menjadikan Muhammad sebagai bapak dunia, “Kenapa” Allâh mengutus Muhammad sebagai Rasûl, dan “Kenapa” Allâh menjadikan Muhammad sebagai Nabi terakhir. Tentu pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak akan ada habisnya. Otak dan pengetahuan manusia terbatas dan tidak akan sampai untuk memahami segala pertanyaan itu. Cukup mengimani apa yang diwahyukan Allâh. Oleh karenanya di akhir ayat tersebut Allâh menutup dengan, “Dan adalah Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Ahli bahasa memberikan makna terhadap kalimat “khâtama” dengan Al-Istîtsâqu wal man’u (Lihat Lisânul ‘Arab Bab Kha), artinya memastikan dan menolak sesuatu. Dengan demikian Alqurân menyebutkan Muhammad sebagai “khâtamañabiýîn” artinya pasti dan tidak ragu bahwa Muhammad sebagai Nabi terakhir dan menolak orang yang mengaku Nabi di kemudian hari.
Para mufasir mengartikan khâtamañabiýîn dengan tiga tafsiran; pertama, Khâtamañubuwata, artinya Allâh telah menutup kenabian. Kedua, Allâh menyempurnakan kenabian dan Rasûl sejak awal sampai akhir dan disempurnakan dengan ditutupnya oleh Muhammad Rasûlullâh Saw. Ketiga, Muhammad paling akhir di antara para Nabi Allâh yang diutus.
Ibnu Abbas, sahabat sekaligus ahli tafsier terkemuka di zaman Nabi mengomentari ayat di atas, “Seolah-olah Allâh berkehendak dengan firman-Nya, kalaulah Allâh tidak menutup nabi-nabi dengan kenabian Muhammad, seolah Allâh berfirman, pasti Aku jadikan seorang Nabi di antara anaknya. Tapi Allâh Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu. Kenapa tidak menjadikan salah satu anak Muhammad sebagai Nabi dan Rasûl karena memang Allâh berkehendak Muhammad sebagai Nabi terakhir.”
Salah satu logika yang digunakan Ibnu Abbas adalah bukti sejarah yang menunjukkan bahwa tiga putra beliau; dua dari khadijah, pertama, Qasim sehingga beliau Saw., dipanggil Abul Qasim, lahir sebelum beliau diangkat menjadi Nabi dan meninggal dalam usia 2 tahun. Kedua, Abdullah yang dijuluki Ath-Thayyib dan Ath-Thahir karena ia dilahirkan dalam Islam meninggal dunia setelah lahir beberapa hari. Ketiga, putra dari Mariah Qibtiyah bernama Ibrahim meninggal dalam usia 16-18 bulan (Al-Wafa, hal 536-537). Kalaulah putra beliau Saw., hidup sampai dewasa tidak mustahil dikemudian hari orang akan mendewakan salah satunya dan mengangkatnya sebagai Nabi. Tapi Allâh mentakdirkan tidak menjadikan seorang pun hidup sampai dewasa.
Begitu banyak hadits yang mempertegas bahwa beliau adalah Nabi terakhir. Antara lain dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim. Rasûl menyatakan, “Perumpamaanku dibandingkan dengan nabi-nabi sebelumku, bagaikan seorang laki-laki yang sedang membangun rumah (akidah). Masing-masing dari laki-laki itu memperbagus dan memperindah bagaimana supaya rumah (akidah) itu kuat. Dan aku adalah Nabi yang paling terakhir diantara nabi-nabi.”
Hadits kedua menjelaskan, “Aku diberi kelebihan enam hal dibandingkan dengan Nabi lain; (1) Aku diberi kumpulan ajaran-ajaran. (2) Aku diberi pertolongan oleh Allâh dengan rasa takut pada musuh sebelum tentaraku datang. (3) Ghanimah dihalalkan bagiku. (4) Tanah dijadikan tempat bersuci dan bersujud untukku. (5) Aku diutus untuk seluruh makhkluk. (6) Dan nabi-nabi ditutup olehku.”
Hadits ketiga, dipertegas lagi oleh Rasûlullâh Saw., “Aku punya banyak nama; Muhammad, Ahmad, Al-Mâhi (karena Allâh menghapus kekufuran dariku), Al-Hâsir (orang-orang dikumpulkan pada telapakku, dan Al-‘Âkib (karena tidak ada Nabi sesudahku).”
Terhadap ayat Alqurân dan hadits-hadits di atas, Ibnul Jauzi memberikan penafsiran, “Agar orang-orang tahu siapa yang mengaku Nabi setelah Muhammad maka orang itu diberi gelar; Pembohong, Pengada-ada, Dajjal, Sesat dan Menyesatkan sekalipun orang itu mendatangkan bermacam-macam jenis sihir agar orang lain percaya bahwa dirinya Nabi.”
Melalui firman-Nya, Allâh mengisyaratkan akan adanya pendusta (orang) yang mengaku sebagai Nabi dan Rasûl baik pada zaman Nabi Saw., dan masa sesudahnya. Allâh Swt., berfirman, “Apakah akan Aku beritakan kepadamu, (satu berita yang besar dan menggemparkan yang hakikatnya tidak perlu terjadi. Karena yang dikatakan An-Naba adalah berita besar berbeda dengan Al-Khabar. Berita besar akan adanya orang yang akan mengaku Nabi dan Rasûl yang pada hakikatnya mereka mendapat bisikan-bisikan Syaitan) kepada siapa syaitan-syaitan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaitan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta.” (Qs. Asy-Syu’ara’ [26]:221-223)
Ayat di atas merupakan salah satu kemu’jizatan Alqurân, karena mengungkap (isyarat) suatu hal yang ghaib tentang orang yang mengaku Nabi; baik pada masa Nabi dan pada masa sesudahnya (sekarang).
Ibnul Jauzi, Shâwi juga Al-Maraghi mencatat tidak kurang 8 orang yang mengaku Nabi disaat Nabi Saw., masih hidup. Diantaranya, (1) Aswad Al-Ansi di Yaman, (2) Musailamah Al-Kadzâb di Yamamah, (3) As-Sâti’ bin Rabi’ah, (4) Abdullâh bin Abdi Jabhari As-Sahni, (5) Khubairah bin Abi Wahab Al-Mahzumi, (6) Musâfi’ bin Abdil Manâf, (7) Abu Izzah Amr bin Abdillâh Al-Jamhi (8) Umayyah bin Abdi Sholah Ats-Tsaqofi yang menyatakan, “Aku katakan seperti perkataan Muhammad.” Mensejajarkan dirinya dengan Rasûl seolah-olah bahwa dirinya dapat menjadi Nabi dan Rasûl dengan sendirinya. Mereka semua mengaku Nabi pada saat Nabi Muhammad Saw., masih hidup.
Alqurân sudah dengan tegas menjelaskan, Alhadits dengan detail menjabarkan, para mufasir mempertegas dengan lima nama bagi pengaku Nabi; Pembohong, Pengada-ada, Dajjal, Sesat dan Menyesatkan. Jika seandainya ada orang yang mengaku Nabi setelah kenabian Muhammad tentu bukan Nabi utusan Allâh tetapi Nabi liar.
Jika kita bercermin pada Alqurân, kedatangan dan pengakuan orang-orang yang mengaku sebagai Nabi tentu tidak akan asing bagi orang mu’min karena Alqurân sendiri mengisyaratkan akan munculnya orang-orang yang mengaku sebagai Nabi sekaligus menjelaskan hakikatnya mereka mendapatkan bisikan Syaitan.
Ibnul Jauzi mencatat sebuah peristiwa tentang buktinya Alqurân mengungkap sesuatu yang ghaib setelah Nabi wafat. Pada abad 13 H tepatnya pada tahun 1252 s.d. 1326 H seorang Imam Qadian (Punjab-Pakistan-India) pada saat itu bernama Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (Lahir, 13 Februari 1835 – Wafat, 26 Mei 1908 M, Wikipedia), Hazrat merupakan panggilan kehormatan dari pengikutnya yang disebut Ahmadiyah sedangkan nama “Mirza” melambangkan keturunan bangsawan dari Turki-Moghul. Dia menyatakan diri sebagai Nabi dan Rasûl dengan menyebut dirinya Al-Masih Al-Mau’ûd. Keyakinan yang diajarkannya bahwa kenabian itu belum putus akan terus berlangsung.
Kata “Unabbi`u”, pada Qs. Asy-Syu’ara’ [26]: 221 di atas merupakan bentuk fi’il mudhari yang bermakna continuitas, akan terus berlangsung orang mengaku Nabi; baik di zaman Nabi juga pada masa yang akan datang (sekarang dan nanti).
Oleh karenanya, setelah Allâh menyebutkan bahwa Muhammad Nabi dan Rasûl terakhir (Qs. Al-Ahzab [33]:40), Allâh menyambung dengan memberikan petunjuk sebagai sikap preventif untuk mencounter dari orang-orang yang mengaku Nabi setelah Muhammad Saw., untuk memperkokoh keimanan dan senantiasa mengingat (dzikir) kepada Allâh, “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allâh, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (Qs. Al-Ahzab [33]:41-43)
Karena itulah kapanpun dan dimanapun kita mesti memperkokoh keimanan, bercermin pada Alqurân, berdialog dengan Allâh karena kalam-kalam Allâh tertuang di dalam Alqurân dan Alqurân memberikan jawaban. [Assaha]
Ringkasan Khutbah Jum;at
Masjid Persatuan Islam Pajagalan-Bandung, 16 November 2007
Khatib: Drs. H. Dedeng Rosyidin, M.Ag
[Staf Bidgar Kurikulum PPI 1-2, Dosen UPI, Pakar Pendidikan]
Ciri Kenabian & Palsunya Pengaku Nabi
Posted by Error! Hyperlink reference not valid. di Rabu, November 14, 2007
.fullpost{display:inline;}
Pada tahun ke-6 Hijriah para sahabat menyertai Rasûlullâh Saw., berangkat ke Makkah untuk melaksanakan umrah. Namun belum sampai di tengah perjalanan mereka dihadang kaum Quraisy yang melarang mereka memasuki ke kota Makkah.
Terjadilah perjanjian Hudaibiyah. Diantara isinya adalah; pertama, gencatan senjata, tidak akan saling menyerang untuk jangka waktu 10 tahun. Kedua, untuk sementara orang-orang Islam tidak boleh memasuki kota Makkah. Ketiga, orang-orang Makkah (Quraisy) yang ada di Madinah harus dikembalikan tapi orang-orang Madinah yang berada di Makkah tidak boleh dikembalikan ke Madinah dan ini dianggap salah satu yang merugikan umat Islam, namun semuanya diterima dan disetujui oleh Rasûlullâh Saw.
Secara tidak langsung isi perjanjian itu merupakan kekalahan total bagi orang-orang Makkah (Quraisy). Pasca Perjanjian Hudaibiyah, umat Islam bertambah bebas berda'wah melebarkan sayapnya kesebelah utara sampai ke Syria dan Mesir lalu kesebelah selatan bahkan kesebelah timur dan lain sebagainya.
Pasca Perjanjian Hudaibiyah, orang-orang Quraisy melakukan perjalanan niaga seperti yang diungkapkan Alqurân, “Li`îlâ fîquraisyin, îlâfihim rihlatasy syitâ`i wash shaif.” Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan panas. (Qs. Alquraisy [106]:1-2). Mereka berniaga kesebelah utara (Syam) dan bertepatan pada saat itu pemimpin Romawi, Kaisar Heraklius sedang melaksanakan nadzar. Dan saat itu bertepatan pula surat da'wah Rasûlullâh Saw., menyebar ke beberapa negara termasuk ke negara Romawi. Saat sampai di Syam, kaisar Heraklius telah menerima surat da'wah Rasûlullâh Saw.
Ketika dia mendengar kabar bahwa ada orang Makkah sedang berada di Syam, dia memerintahkan tentaranya untuk memanggil orang-orang Quraisy. Pada saat itu Abu Sufyan dan para pedagang lainnya menghadap atas perintah kaisar. Heraklius bertanya, “Siapakah diantara kalian yang paling dekat nasabnya dengan laki-laki yang mengaku Nabi ini?”. Tidak ada yang menjawab kecuali Abu Sufyan. “Sayalah yang paling dekat nasabnya diantara mereka!” Kaisar memerintahkan untuk mendekatkan Abu Sufyan kepadanya dan menempatkan yang lain di belakangnya. Sehingga dengan cara seperti itu tidak ada kesempatan bagi Abu Sufyan dan kaumnya untuk melakukan konspirasi kebohongan. “Sungguh aku akan bertanya kepada orang ini, jika dia berdusta kepadaku dustakanlah oleh kalian.” Waktu itu dalam benaknya Abu Sufyan berkata, “Sungguh demi Allah seandainya tidak akan menimbulkan rasa malu dikemudian hari orang-orang akan mendustakan aku, aku akan berdusta tentang Muhammad.”
Setelah itu barulah terjadi tanya jawab antara Heraklius dan Abu Sufyan; “Bagaimana nasab orang yang mengaku Nabi itu pada kalian?” Abu Sufyan menjawab, “Dia bukan orang lain, dia seketurunan dengan kami.” “Apakah ada orang lain yang pernah mengaku Nabi sebelum dia?” “Tidak ada! Baru dia yang mengaku Nabi.” “Adakah diantara leluhurnya yang pernah menjadi raja, pernah menjadi pemimpin?” “Tidak ada!”. “Siapa pengikutnya, apakah orang-orang mulia atau orang yang lemah?” “Yang disayangkan pengikutnya adalah orang-orang lemah.” Tapi justru kaisar Romawi memiliki pandangan berbeda. “Justru itulah para pengikut Rasûlullâh. Umumnya bukan orang-orang yang kuat tetapi para pengikutnya itu orang-orang yang lemah!” Heraklius melanjutkan, “Para pengikutnya itu bertambah atau berkurang?” “Bertambah.” “Apakah ada diantara pengikut Muhammad yang keluar karena benci kepada agamanya bukan karena sentimen kepada orangnya?” “Tidak pernah ada!” “Pernahkah kalian menuduh Muhammad itu berdusta sebelum dia menyatakan dirinya Nabi?”
“Jangankan menuduh dusta bahkan kami pernah memberikan gelar terhormat Al-Amien, orang jujur, terpercaya!” “Apakah dia suka ingkar janji?” “Tidak! Seingatku dia tidak pernah ingkar janji!” “Apakah kalian pernah berperang dengan dia?” “Benar! Sudah beberapa kali sampai sekarang kami berperang dengannya, bahkan setiap kali dia memimpin perang maka aku pula yang memimpin perang dari pihak Quraisy.” “Bagaimana peperangannya?” “Biasa saja, sewaktu-waktu dia yang unggul, dan sewaktu-waktu kami yang menang.” “Apa yang dia perintahkan kepada pengikutnya?” “Dia memerintahkan untuk jujur, menyambungkan silaturahim, shalat, dan menahan diri dari perkara-perkara yang syubhat.”
Setelah sekian lama mengajukan beberapa pertanyaan, kaisar Romawi itu menyatakan, “Inilah pemimpin umat zaman sekarang sudah muncul!”
Dari pernyataan Heraklius tersebut dapat kita pahami bahwa pengakuan dan pernyataan sebagai Nabi dari seseorang bukan hanya diakui oleh dirinya sendiri tetapi diakui juga oleh orang lain yang mengetahui masalah kenabian. Kaisar Romawi bukanlah orang Islam, dia seorang pendeta (uskup) namun secara jujur dia mengakui bahwa Muhammad Rasûlullâh adalah pemimpin umat yang telah diungkapkan di dalam injil dan taurat.
Ciri-ciri Nabi bukanlah melarang tetapi yang pertama adalah memerintah; memerintah shalat bukan melarang shalat! Dan satu saat akan timbul keanehan ada orang yang mengaku dirinya Nabi tetapi menunjukkan kebohongan dengan larangan; melarang shalat, shaum dan melarang yang lain-lainnya.
Sudah merupakan sunnatullâh dan sunnatulanbiyâ` yang berkesinambungan bahwa kesemuanya adalah, Innad dîna indallâhil Islâm. Secara syariat tauhidiyah akan sama dikalangan para Rasûlullâh hanya kaifiat syar'iyah yang berbeda. Dari segi shalatnya sama; di dalam Taurat dan Injil ada perintah shalat, demikian dalam Alqurân. Tetapi justru pada akhir-akhir ini ada Nabi yang melarang shalat. Inilah yang menunjukkan kepalsuan dari orang yang mengaku dirinya Nabi.
Abu Sufyan menjawab semua pertanyaan itu jauh sebelum dia masuk Islam, bahkan saat itu dia merupakan musuh besar Islam. Dia baru memeluk Islam setelah Fathu Makkah. Tetapi secara jujur dia menjawab pertanyaan-pertanyaan itu apa adanya. Karena demikianlah kenyataannya Rasûlullâh Muhammad Saw.
Maka dalam hal ini wajar apabila ada yang mengatakan Heraklius itu masuk Islam tetapi pendapat yang lebih kuat menyatakan, dia tidak masuk Islam karena pada akhirnya dia merasa berat untuk meninggalkan kerajaannya.
Pada suatu hari ada dua orang sahabat berbincang-bincang. Salah seorang sahabat itu bertanya, “Aku mendengar sahabatmu tadi malam menerima wahyu?” “Benar!” “Apa yang dia terima?” Lalu dibacakan surat Alkautsar. Kemudian dia menjelaskan bahwa dia pun tadi malam menerima wahyu yang hampir sama lalu dia membacakan “seperti” halnya surat Al-Kautsar. Lalu dia bertanya, “Apakah kamu percaya kepada yang aku terima?” Sahabat itu dengan tegas menjawab. “Aku percaya bahwa engkau adalah pendusta!”
Pada zaman Rasûlullâh pun telah ada kejadian-kejadian seperti ini, bahkan dikemudian hari tidak mustahil akan lebih banyak lagi, jadi tidak perlu aneh, yang aneh dan sangat disayangkan adalah kenapa orang-orang yang telah maju cara berpikirnya tetapi masih mengikuti pola berpikir yang mundur kebelakang.
Ada seorang sahabat yang setiap kali bertemu dengan Rasûlullâh Saw., beliau berpaling dan memalingkan wajah darinya. Sahabat ini akhirnya secara terus terang bertanya kepada Rasûlullâh. “Ya Rasûlullâh ada apa gerangan, apakah engkau benci aku, apakah tobatku ini tidak diterima Allâh, karena aku merasa setiap bertemu dengan engkau, engkau selalu berpaling dan memalingkan muka.” Rasûlullâh dengan tegas menyatakan, “Aku bukan benci engkau tetapi apabila melihat wajah engkau terlintas dan terbayang dalam pikiranku wajah pamanku yang engkau bunuh.” Sahabat inilah yang bernama Wahsyi yang telah membunuh paman Rasûlullâh, Hamzah.
Akhirnya Wahsyi bertekad, “Satu saat aku harus membunuh orang yang sangat membenci Islam. Kalau dulu aku membunuh orang yang sangat dicintai oleh Rasûlullâh, satu saat aku harus bisa membunuh salah seorang yang sangat dibenci oleh Rasûlullâh.” Dan dikemudian hari Wahsyi berhasil membunuh orang yang pertama mengaku Nabi yaitu, Musailamah Al-Kadzab.
Apa yang dilakukan Wahsyi tidak mendapatkan hukum qisos tetapi justru mendapatkan kehormatan dalam arti bila ada orang Islam sanggup membunuh orang yang mengaku Nabi setelah Nabi Muhammad maka itu bukanlah satu kesalahan tetapi satu kehormatan. Seandainya tidak membunuh jiwanya yang dibunuh itu adalah keyakinannya.
Mudah-mudahan kisah sejarah di atas menggambarkan benarnya Rasûlullâh dan bohongnya orang-orang yang mengaku Rasûlullâh. [Assaha]
Ringkasan Khutbah Jum'at
Masjid Persatuan Islam Pajagalan Bandung
Khatib: KH. Ikin Shodikin (Ketua Dewan Penasihat PP Persis)
Diantara sekian banyak ayat Alqurân hanya satu ayat di atas (Qs. Al-Ahzab [33] :40) yang menjelaskan bahwa Muhammad merupakan Nabi terakhir. Ini menunjukkan kekhususan Nabi Muhammad Saw., yang tidak ada lagi Nabi sesudah beliau.
Jika seribu pertanyaan mengalir mempertanyakan; “Kenapa” Allâh menjadikan Muhammad sebagai bapak dunia, “Kenapa” Allâh mengutus Muhammad sebagai Rasûl, dan “Kenapa” Allâh menjadikan Muhammad sebagai Nabi terakhir. Tentu pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak akan ada habisnya. Otak dan pengetahuan manusia terbatas dan tidak akan sampai untuk memahami segala pertanyaan itu. Cukup mengimani apa yang diwahyukan Allâh. Oleh karenanya di akhir ayat tersebut Allâh menutup dengan, “Dan adalah Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Ahli bahasa memberikan makna terhadap kalimat “khâtama” dengan Al-Istîtsâqu wal man’u (Lihat Lisânul ‘Arab Bab Kha), artinya memastikan dan menolak sesuatu. Dengan demikian Alqurân menyebutkan Muhammad sebagai “khâtamañabiýîn” artinya pasti dan tidak ragu bahwa Muhammad sebagai Nabi terakhir dan menolak orang yang mengaku Nabi di kemudian hari.
Para mufasir mengartikan khâtamañabiýîn dengan tiga tafsiran; pertama, Khâtamañubuwata, artinya Allâh telah menutup kenabian. Kedua, Allâh menyempurnakan kenabian dan Rasûl sejak awal sampai akhir dan disempurnakan dengan ditutupnya oleh Muhammad Rasûlullâh Saw. Ketiga, Muhammad paling akhir di antara para Nabi Allâh yang diutus.
Ibnu Abbas, sahabat sekaligus ahli tafsier terkemuka di zaman Nabi mengomentari ayat di atas, “Seolah-olah Allâh berkehendak dengan firman-Nya, kalaulah Allâh tidak menutup nabi-nabi dengan kenabian Muhammad, seolah Allâh berfirman, pasti Aku jadikan seorang Nabi di antara anaknya. Tapi Allâh Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu. Kenapa tidak menjadikan salah satu anak Muhammad sebagai Nabi dan Rasûl karena memang Allâh berkehendak Muhammad sebagai Nabi terakhir.”
Salah satu logika yang digunakan Ibnu Abbas adalah bukti sejarah yang menunjukkan bahwa tiga putra beliau; dua dari khadijah, pertama, Qasim sehingga beliau Saw., dipanggil Abul Qasim, lahir sebelum beliau diangkat menjadi Nabi dan meninggal dalam usia 2 tahun. Kedua, Abdullah yang dijuluki Ath-Thayyib dan Ath-Thahir karena ia dilahirkan dalam Islam meninggal dunia setelah lahir beberapa hari. Ketiga, putra dari Mariah Qibtiyah bernama Ibrahim meninggal dalam usia 16-18 bulan (Al-Wafa, hal 536-537). Kalaulah putra beliau Saw., hidup sampai dewasa tidak mustahil dikemudian hari orang akan mendewakan salah satunya dan mengangkatnya sebagai Nabi. Tapi Allâh mentakdirkan tidak menjadikan seorang pun hidup sampai dewasa.
Begitu banyak hadits yang mempertegas bahwa beliau adalah Nabi terakhir. Antara lain dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim. Rasûl menyatakan, “Perumpamaanku dibandingkan dengan nabi-nabi sebelumku, bagaikan seorang laki-laki yang sedang membangun rumah (akidah). Masing-masing dari laki-laki itu memperbagus dan memperindah bagaimana supaya rumah (akidah) itu kuat. Dan aku adalah Nabi yang paling terakhir diantara nabi-nabi.”
Hadits kedua menjelaskan, “Aku diberi kelebihan enam hal dibandingkan dengan Nabi lain; (1) Aku diberi kumpulan ajaran-ajaran. (2) Aku diberi pertolongan oleh Allâh dengan rasa takut pada musuh sebelum tentaraku datang. (3) Ghanimah dihalalkan bagiku. (4) Tanah dijadikan tempat bersuci dan bersujud untukku. (5) Aku diutus untuk seluruh makhkluk. (6) Dan nabi-nabi ditutup olehku.”
Hadits ketiga, dipertegas lagi oleh Rasûlullâh Saw., “Aku punya banyak nama; Muhammad, Ahmad, Al-Mâhi (karena Allâh menghapus kekufuran dariku), Al-Hâsir (orang-orang dikumpulkan pada telapakku, dan Al-‘Âkib (karena tidak ada Nabi sesudahku).”
Terhadap ayat Alqurân dan hadits-hadits di atas, Ibnul Jauzi memberikan penafsiran, “Agar orang-orang tahu siapa yang mengaku Nabi setelah Muhammad maka orang itu diberi gelar; Pembohong, Pengada-ada, Dajjal, Sesat dan Menyesatkan sekalipun orang itu mendatangkan bermacam-macam jenis sihir agar orang lain percaya bahwa dirinya Nabi.”
Melalui firman-Nya, Allâh mengisyaratkan akan adanya pendusta (orang) yang mengaku sebagai Nabi dan Rasûl baik pada zaman Nabi Saw., dan masa sesudahnya. Allâh Swt., berfirman, “Apakah akan Aku beritakan kepadamu, (satu berita yang besar dan menggemparkan yang hakikatnya tidak perlu terjadi. Karena yang dikatakan An-Naba adalah berita besar berbeda dengan Al-Khabar. Berita besar akan adanya orang yang akan mengaku Nabi dan Rasûl yang pada hakikatnya mereka mendapat bisikan-bisikan Syaitan) kepada siapa syaitan-syaitan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaitan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta.” (Qs. Asy-Syu’ara’ [26]:221-223)
Ayat di atas merupakan salah satu kemu’jizatan Alqurân, karena mengungkap (isyarat) suatu hal yang ghaib tentang orang yang mengaku Nabi; baik pada masa Nabi dan pada masa sesudahnya (sekarang).
Ibnul Jauzi, Shâwi juga Al-Maraghi mencatat tidak kurang 8 orang yang mengaku Nabi disaat Nabi Saw., masih hidup. Diantaranya, (1) Aswad Al-Ansi di Yaman, (2) Musailamah Al-Kadzâb di Yamamah, (3) As-Sâti’ bin Rabi’ah, (4) Abdullâh bin Abdi Jabhari As-Sahni, (5) Khubairah bin Abi Wahab Al-Mahzumi, (6) Musâfi’ bin Abdil Manâf, (7) Abu Izzah Amr bin Abdillâh Al-Jamhi (8) Umayyah bin Abdi Sholah Ats-Tsaqofi yang menyatakan, “Aku katakan seperti perkataan Muhammad.” Mensejajarkan dirinya dengan Rasûl seolah-olah bahwa dirinya dapat menjadi Nabi dan Rasûl dengan sendirinya. Mereka semua mengaku Nabi pada saat Nabi Muhammad Saw., masih hidup.
Alqurân sudah dengan tegas menjelaskan, Alhadits dengan detail menjabarkan, para mufasir mempertegas dengan lima nama bagi pengaku Nabi; Pembohong, Pengada-ada, Dajjal, Sesat dan Menyesatkan. Jika seandainya ada orang yang mengaku Nabi setelah kenabian Muhammad tentu bukan Nabi utusan Allâh tetapi Nabi liar.
Jika kita bercermin pada Alqurân, kedatangan dan pengakuan orang-orang yang mengaku sebagai Nabi tentu tidak akan asing bagi orang mu’min karena Alqurân sendiri mengisyaratkan akan munculnya orang-orang yang mengaku sebagai Nabi sekaligus menjelaskan hakikatnya mereka mendapatkan bisikan Syaitan.
Ibnul Jauzi mencatat sebuah peristiwa tentang buktinya Alqurân mengungkap sesuatu yang ghaib setelah Nabi wafat. Pada abad 13 H tepatnya pada tahun 1252 s.d. 1326 H seorang Imam Qadian (Punjab-Pakistan-India) pada saat itu bernama Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (Lahir, 13 Februari 1835 – Wafat, 26 Mei 1908 M, Wikipedia), Hazrat merupakan panggilan kehormatan dari pengikutnya yang disebut Ahmadiyah sedangkan nama “Mirza” melambangkan keturunan bangsawan dari Turki-Moghul. Dia menyatakan diri sebagai Nabi dan Rasûl dengan menyebut dirinya Al-Masih Al-Mau’ûd. Keyakinan yang diajarkannya bahwa kenabian itu belum putus akan terus berlangsung.
Kata “Unabbi`u”, pada Qs. Asy-Syu’ara’ [26]: 221 di atas merupakan bentuk fi’il mudhari yang bermakna continuitas, akan terus berlangsung orang mengaku Nabi; baik di zaman Nabi juga pada masa yang akan datang (sekarang dan nanti).
Oleh karenanya, setelah Allâh menyebutkan bahwa Muhammad Nabi dan Rasûl terakhir (Qs. Al-Ahzab [33]:40), Allâh menyambung dengan memberikan petunjuk sebagai sikap preventif untuk mencounter dari orang-orang yang mengaku Nabi setelah Muhammad Saw., untuk memperkokoh keimanan dan senantiasa mengingat (dzikir) kepada Allâh, “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allâh, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (Qs. Al-Ahzab [33]:41-43)
Karena itulah kapanpun dan dimanapun kita mesti memperkokoh keimanan, bercermin pada Alqurân, berdialog dengan Allâh karena kalam-kalam Allâh tertuang di dalam Alqurân dan Alqurân memberikan jawaban. [Assaha]
Ringkasan Khutbah Jum;at
Masjid Persatuan Islam Pajagalan-Bandung, 16 November 2007
Khatib: Drs. H. Dedeng Rosyidin, M.Ag
[Staf Bidgar Kurikulum PPI 1-2, Dosen UPI, Pakar Pendidikan]
Ciri Kenabian & Palsunya Pengaku Nabi
Posted by Error! Hyperlink reference not valid. di Rabu, November 14, 2007
.fullpost{display:inline;}
Pada tahun ke-6 Hijriah para sahabat menyertai Rasûlullâh Saw., berangkat ke Makkah untuk melaksanakan umrah. Namun belum sampai di tengah perjalanan mereka dihadang kaum Quraisy yang melarang mereka memasuki ke kota Makkah.
Terjadilah perjanjian Hudaibiyah. Diantara isinya adalah; pertama, gencatan senjata, tidak akan saling menyerang untuk jangka waktu 10 tahun. Kedua, untuk sementara orang-orang Islam tidak boleh memasuki kota Makkah. Ketiga, orang-orang Makkah (Quraisy) yang ada di Madinah harus dikembalikan tapi orang-orang Madinah yang berada di Makkah tidak boleh dikembalikan ke Madinah dan ini dianggap salah satu yang merugikan umat Islam, namun semuanya diterima dan disetujui oleh Rasûlullâh Saw.
Secara tidak langsung isi perjanjian itu merupakan kekalahan total bagi orang-orang Makkah (Quraisy). Pasca Perjanjian Hudaibiyah, umat Islam bertambah bebas berda'wah melebarkan sayapnya kesebelah utara sampai ke Syria dan Mesir lalu kesebelah selatan bahkan kesebelah timur dan lain sebagainya.
Pasca Perjanjian Hudaibiyah, orang-orang Quraisy melakukan perjalanan niaga seperti yang diungkapkan Alqurân, “Li`îlâ fîquraisyin, îlâfihim rihlatasy syitâ`i wash shaif.” Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan panas. (Qs. Alquraisy [106]:1-2). Mereka berniaga kesebelah utara (Syam) dan bertepatan pada saat itu pemimpin Romawi, Kaisar Heraklius sedang melaksanakan nadzar. Dan saat itu bertepatan pula surat da'wah Rasûlullâh Saw., menyebar ke beberapa negara termasuk ke negara Romawi. Saat sampai di Syam, kaisar Heraklius telah menerima surat da'wah Rasûlullâh Saw.
Ketika dia mendengar kabar bahwa ada orang Makkah sedang berada di Syam, dia memerintahkan tentaranya untuk memanggil orang-orang Quraisy. Pada saat itu Abu Sufyan dan para pedagang lainnya menghadap atas perintah kaisar. Heraklius bertanya, “Siapakah diantara kalian yang paling dekat nasabnya dengan laki-laki yang mengaku Nabi ini?”. Tidak ada yang menjawab kecuali Abu Sufyan. “Sayalah yang paling dekat nasabnya diantara mereka!” Kaisar memerintahkan untuk mendekatkan Abu Sufyan kepadanya dan menempatkan yang lain di belakangnya. Sehingga dengan cara seperti itu tidak ada kesempatan bagi Abu Sufyan dan kaumnya untuk melakukan konspirasi kebohongan. “Sungguh aku akan bertanya kepada orang ini, jika dia berdusta kepadaku dustakanlah oleh kalian.” Waktu itu dalam benaknya Abu Sufyan berkata, “Sungguh demi Allah seandainya tidak akan menimbulkan rasa malu dikemudian hari orang-orang akan mendustakan aku, aku akan berdusta tentang Muhammad.”
Setelah itu barulah terjadi tanya jawab antara Heraklius dan Abu Sufyan; “Bagaimana nasab orang yang mengaku Nabi itu pada kalian?” Abu Sufyan menjawab, “Dia bukan orang lain, dia seketurunan dengan kami.” “Apakah ada orang lain yang pernah mengaku Nabi sebelum dia?” “Tidak ada! Baru dia yang mengaku Nabi.” “Adakah diantara leluhurnya yang pernah menjadi raja, pernah menjadi pemimpin?” “Tidak ada!”. “Siapa pengikutnya, apakah orang-orang mulia atau orang yang lemah?” “Yang disayangkan pengikutnya adalah orang-orang lemah.” Tapi justru kaisar Romawi memiliki pandangan berbeda. “Justru itulah para pengikut Rasûlullâh. Umumnya bukan orang-orang yang kuat tetapi para pengikutnya itu orang-orang yang lemah!” Heraklius melanjutkan, “Para pengikutnya itu bertambah atau berkurang?” “Bertambah.” “Apakah ada diantara pengikut Muhammad yang keluar karena benci kepada agamanya bukan karena sentimen kepada orangnya?” “Tidak pernah ada!” “Pernahkah kalian menuduh Muhammad itu berdusta sebelum dia menyatakan dirinya Nabi?”
“Jangankan menuduh dusta bahkan kami pernah memberikan gelar terhormat Al-Amien, orang jujur, terpercaya!” “Apakah dia suka ingkar janji?” “Tidak! Seingatku dia tidak pernah ingkar janji!” “Apakah kalian pernah berperang dengan dia?” “Benar! Sudah beberapa kali sampai sekarang kami berperang dengannya, bahkan setiap kali dia memimpin perang maka aku pula yang memimpin perang dari pihak Quraisy.” “Bagaimana peperangannya?” “Biasa saja, sewaktu-waktu dia yang unggul, dan sewaktu-waktu kami yang menang.” “Apa yang dia perintahkan kepada pengikutnya?” “Dia memerintahkan untuk jujur, menyambungkan silaturahim, shalat, dan menahan diri dari perkara-perkara yang syubhat.”
Setelah sekian lama mengajukan beberapa pertanyaan, kaisar Romawi itu menyatakan, “Inilah pemimpin umat zaman sekarang sudah muncul!”
Dari pernyataan Heraklius tersebut dapat kita pahami bahwa pengakuan dan pernyataan sebagai Nabi dari seseorang bukan hanya diakui oleh dirinya sendiri tetapi diakui juga oleh orang lain yang mengetahui masalah kenabian. Kaisar Romawi bukanlah orang Islam, dia seorang pendeta (uskup) namun secara jujur dia mengakui bahwa Muhammad Rasûlullâh adalah pemimpin umat yang telah diungkapkan di dalam injil dan taurat.
Ciri-ciri Nabi bukanlah melarang tetapi yang pertama adalah memerintah; memerintah shalat bukan melarang shalat! Dan satu saat akan timbul keanehan ada orang yang mengaku dirinya Nabi tetapi menunjukkan kebohongan dengan larangan; melarang shalat, shaum dan melarang yang lain-lainnya.
Sudah merupakan sunnatullâh dan sunnatulanbiyâ` yang berkesinambungan bahwa kesemuanya adalah, Innad dîna indallâhil Islâm. Secara syariat tauhidiyah akan sama dikalangan para Rasûlullâh hanya kaifiat syar'iyah yang berbeda. Dari segi shalatnya sama; di dalam Taurat dan Injil ada perintah shalat, demikian dalam Alqurân. Tetapi justru pada akhir-akhir ini ada Nabi yang melarang shalat. Inilah yang menunjukkan kepalsuan dari orang yang mengaku dirinya Nabi.
Abu Sufyan menjawab semua pertanyaan itu jauh sebelum dia masuk Islam, bahkan saat itu dia merupakan musuh besar Islam. Dia baru memeluk Islam setelah Fathu Makkah. Tetapi secara jujur dia menjawab pertanyaan-pertanyaan itu apa adanya. Karena demikianlah kenyataannya Rasûlullâh Muhammad Saw.
Maka dalam hal ini wajar apabila ada yang mengatakan Heraklius itu masuk Islam tetapi pendapat yang lebih kuat menyatakan, dia tidak masuk Islam karena pada akhirnya dia merasa berat untuk meninggalkan kerajaannya.
Pada suatu hari ada dua orang sahabat berbincang-bincang. Salah seorang sahabat itu bertanya, “Aku mendengar sahabatmu tadi malam menerima wahyu?” “Benar!” “Apa yang dia terima?” Lalu dibacakan surat Alkautsar. Kemudian dia menjelaskan bahwa dia pun tadi malam menerima wahyu yang hampir sama lalu dia membacakan “seperti” halnya surat Al-Kautsar. Lalu dia bertanya, “Apakah kamu percaya kepada yang aku terima?” Sahabat itu dengan tegas menjawab. “Aku percaya bahwa engkau adalah pendusta!”
Pada zaman Rasûlullâh pun telah ada kejadian-kejadian seperti ini, bahkan dikemudian hari tidak mustahil akan lebih banyak lagi, jadi tidak perlu aneh, yang aneh dan sangat disayangkan adalah kenapa orang-orang yang telah maju cara berpikirnya tetapi masih mengikuti pola berpikir yang mundur kebelakang.
Ada seorang sahabat yang setiap kali bertemu dengan Rasûlullâh Saw., beliau berpaling dan memalingkan wajah darinya. Sahabat ini akhirnya secara terus terang bertanya kepada Rasûlullâh. “Ya Rasûlullâh ada apa gerangan, apakah engkau benci aku, apakah tobatku ini tidak diterima Allâh, karena aku merasa setiap bertemu dengan engkau, engkau selalu berpaling dan memalingkan muka.” Rasûlullâh dengan tegas menyatakan, “Aku bukan benci engkau tetapi apabila melihat wajah engkau terlintas dan terbayang dalam pikiranku wajah pamanku yang engkau bunuh.” Sahabat inilah yang bernama Wahsyi yang telah membunuh paman Rasûlullâh, Hamzah.
Akhirnya Wahsyi bertekad, “Satu saat aku harus membunuh orang yang sangat membenci Islam. Kalau dulu aku membunuh orang yang sangat dicintai oleh Rasûlullâh, satu saat aku harus bisa membunuh salah seorang yang sangat dibenci oleh Rasûlullâh.” Dan dikemudian hari Wahsyi berhasil membunuh orang yang pertama mengaku Nabi yaitu, Musailamah Al-Kadzab.
Apa yang dilakukan Wahsyi tidak mendapatkan hukum qisos tetapi justru mendapatkan kehormatan dalam arti bila ada orang Islam sanggup membunuh orang yang mengaku Nabi setelah Nabi Muhammad maka itu bukanlah satu kesalahan tetapi satu kehormatan. Seandainya tidak membunuh jiwanya yang dibunuh itu adalah keyakinannya.
Mudah-mudahan kisah sejarah di atas menggambarkan benarnya Rasûlullâh dan bohongnya orang-orang yang mengaku Rasûlullâh. [Assaha]
Ringkasan Khutbah Jum'at
Masjid Persatuan Islam Pajagalan Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar